Perlindungan hukum untuk anak di era digital menjadi isu yang semakin mendesak di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Dunia digital membuka ruang baru bagi anak-anak untuk belajar, berkreasi, dan berinteraksi tanpa batas geografis. Namun di balik potensi positifnya, ruang digital juga menghadirkan risiko serius: kekerasan daring (cyberbullying), eksploitasi seksual anak, penyebaran konten berbahaya, pelanggaran privasi, serta manipulasi perilaku melalui algoritma dan iklan digital.
Dalam konteks ini, perlindungan hukum terhadap anak tidak lagi cukup hanya mengandalkan instrumen konvensional, melainkan harus disesuaikan dengan dinamika baru dari kehidupan digital yang kompleks, cepat berubah, dan sering kali melampaui batas yurisdiksi negara. Tantangannya bukan hanya bagaimana menegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran di dunia maya, tetapi juga bagaimana menciptakan ekosistem digital yang aman, beretika, dan ramah anak.
Secara normatif, Indonesia telah memiliki sejumlah instrumen hukum yang mengatur perlindungan anak, baik secara umum maupun khusus dalam konteks digital. Dasar konstitusionalnya terdapat dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (perubahan dari UU No. 23 Tahun 2002), yang menegaskan tanggung jawab negara, pemerintah, masyarakat, dan keluarga dalam melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk yang terjadi di ruang digital.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga memberikan dasar hukum untuk menjerat pelaku eksploitasi atau kekerasan daring terhadap anak. Di tingkat internasional, Indonesia telah meratifikasi Convention on the Rights of the Child (CRC) dan Optional Protocol on the Sale of Children, Child Prostitution, and Child Pornography, yang menegaskan kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi, termasuk yang terjadi melalui media digital.
Meskipun kerangka hukum telah cukup memadai, tantangan utama terletak pada implementasi dan efektivitas penegakannya. Dunia digital bersifat lintas batas, anonim, dan dinamis, sehingga seringkali sulit bagi aparat hukum untuk melacak pelaku kejahatan yang memanfaatkan teknologi canggih. Misalnya, dalam kasus penyebaran konten pornografi anak, pelaku dapat menyembunyikan identitasnya melalui jaringan virtual pribadi (VPN), akun anonim, atau situs luar negeri.
Sebagian besar aparat penegak hukum masih belum memiliki kapasitas teknis yang memadai untuk menangani kejahatan siber yang kompleks. Di sisi lain, banyak kasus kekerasan digital terhadap anak tidak dilaporkan karena korban merasa takut, malu, atau tidak tahu harus melapor ke mana. Situasi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara norma hukum dan realitas sosial di lapangan.
Fenomena cyberbullying menjadi salah satu bentuk ancaman paling nyata terhadap anak di era digital. Data dari UNICEF dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa ribuan anak di Indonesia menjadi korban perundungan daring setiap tahun, baik melalui media sosial, aplikasi pesan, maupun platform permainan daring (online gaming). Perundungan digital dapat menyebabkan trauma psikologis yang berat, bahkan dalam beberapa kasus berujung pada depresi dan tindakan bunuh diri.
Sayangnya, banyak orang tua dan guru masih memandang remeh persoalan ini karena dianggap sebagai bagian dari dinamika interaksi remaja. Padahal, dalam perspektif hukum, cyberbullying dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap anak dan termasuk pelanggaran terhadap UU ITE maupun UU Perlindungan Anak. Negara perlu mempertegas penegakan hukum terhadap pelaku perundungan digital, sekaligus mengedukasi masyarakat bahwa kekerasan di dunia maya sama seriusnya dengan kekerasan di dunia nyata.
Selain cyberbullying, ancaman eksploitasi seksual anak di dunia digital juga meningkat secara signifikan. Laporan dari ECPAT Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan peningkatan tajam dalam kasus child grooming (pendekatan seksual terhadap anak secara daring), sextortion (pemerasan dengan ancaman penyebaran foto atau video pribadi), dan penyebaran konten eksploitasi seksual anak (child sexual abuse material).
Modus kejahatan ini seringkali melibatkan manipulasi psikologis, sebab pelaku memanfaatkan kepercayaan atau ketidaktahuan anak untuk memperoleh materi seksual. Kasus semacam ini sangat sulit diungkap karena pelaku sering beroperasi di luar negeri atau menggunakan jaringan digital tertutup. Dalam konteks ini, penegakan hukum perlu diperkuat dengan kerja sama internasional, terutama dalam hal cyber forensics, pertukaran data, dan harmonisasi hukum lintas negara.
Aspek lain yang perlu mendapat perhatian serius adalah perlindungan data pribadi anak. Di era digital, anak-anak sering menjadi pengguna aktif media sosial, aplikasi pembelajaran daring, dan gim interaktif yang mengumpulkan data pribadi seperti nama, foto, lokasi, dan kebiasaan daring. Data ini sering dimanfaatkan oleh perusahaan untuk kepentingan komersial tanpa izin yang jelas.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi sebenarnya telah memberikan landasan hukum yang kuat untuk melindungi privasi anak, tetapi implementasinya masih sangat baru dan membutuhkan pedoman teknis yang jelas. Dalam konteks ini, anak-anak memiliki hak untuk dilindungi dari praktik pengumpulan data yang eksploitatif, termasuk iklan yang menargetkan mereka secara langsung. Negara dan penyedia platform digital harus memastikan bahwa setiap layanan daring yang digunakan anak dilengkapi dengan fitur perlindungan privasi yang kuat dan mudah diakses.
Selain perlindungan hukum terhadap ancaman langsung, aspek edukasi dan literasi digital juga menjadi bagian penting dari perlindungan anak di era digital. Banyak kasus pelanggaran dan kekerasan daring terhadap anak terjadi karena rendahnya kesadaran dan pengetahuan anak maupun orang tua mengenai risiko dunia digital. Pendidikan literasi digital harus mencakup pemahaman tentang keamanan siber, etika bermedia, dan hak-hak digital anak.
Pemerintah, sekolah, dan lembaga masyarakat perlu berkolaborasi dalam membangun kesadaran sejak dini tentang penggunaan internet yang aman dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, peran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kominfo sangat krusial dalam menyusun kurikulum literasi digital yang terintegrasi dalam pendidikan formal maupun nonformal. Program seperti Internet Sehat dan Aman (INSAN) dan Siberkreasi merupakan langkah awal yang baik, namun perlu diperluas hingga menjangkau masyarakat di daerah terpencil.
Dalam perspektif hukum pidana, penting pula untuk memastikan bahwa sistem peradilan yang menangani kasus anak bekerja berdasarkan prinsip child-friendly justice. Artinya, setiap proses hukum harus menjamin perlindungan psikologis anak, baik sebagai korban maupun pelaku. Anak korban kekerasan digital tidak boleh diperlakukan sebagai pelaku pelanggaran moral, sementara anak pelaku yang melakukan kejahatan digital karena ketidaktahuan harus mendapatkan pendekatan edukatif, bukan semata hukuman.
Pendekatan restorative justice menjadi penting untuk memastikan bahwa sistem hukum tidak menambah trauma, melainkan membantu anak memahami kesalahan dan memperbaikinya. Dalam hal ini, koordinasi antara kepolisian, kejaksaan, pengadilan anak, psikolog, dan lembaga sosial sangat diperlukan agar proses hukum benar-benar berpihak pada kepentingan terbaik anak.
Perlindungan hukum anak di era digital juga tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab korporasi digital. Platform besar seperti Meta, Google, TikTok, dan lainnya memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menciptakan lingkungan daring yang aman bagi anak. Mereka harus memastikan mekanisme moderasi konten, sistem pelaporan cepat terhadap konten berbahaya, serta pengaturan usia pengguna yang ketat.
Di beberapa negara, misalnya Uni Eropa dengan Digital Services Act, perusahaan digital diwajibkan untuk bertanggung jawab atas konten yang beredar di platform mereka, terutama jika melibatkan anak-anak. Indonesia dapat mengadopsi pendekatan serupa untuk memperkuat perlindungan anak di ranah digital, dengan menegaskan tanggung jawab hukum penyelenggara sistem elektronik terhadap penyalahgunaan platform mereka.
Selain perangkat hukum dan regulasi, dimensi kultural juga sangat penting. Dalam masyarakat Indonesia yang masih memiliki kesenjangan digital yang besar, anak-anak di daerah pedesaan dan keluarga miskin seringkali tidak memiliki akses terhadap teknologi yang aman. Mereka menggunakan ponsel bersama, tidak memiliki pengawasan orang tua, dan sering mengakses konten tanpa filter. Dalam kondisi ini, perlindungan hukum tidak akan efektif tanpa keadilan digital (digital equity). Pemerintah harus memastikan akses internet yang aman, pendidikan teknologi yang merata, dan dukungan sosial bagi keluarga agar anak-anak tidak menjadi korban eksploitasi digital akibat kemiskinan struktural.
Ke depan, perlindungan hukum anak di era digital harus diarahkan pada tiga dimensi utama: preventif, represif, dan rehabilitatif. Pendekatan preventif mencakup literasi digital, penguatan infrastruktur hukum dan teknologi, serta kolaborasi antara negara, perusahaan, dan masyarakat. Pendekatan represif dilakukan melalui penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan digital terhadap anak, baik individu maupun korporasi.
Sementara pendekatan rehabilitatif berfokus pada pemulihan anak korban agar mereka dapat pulih secara psikologis dan sosial. Semua pendekatan ini hanya akan efektif jika dijalankan dalam kerangka yang berpusat pada kepentingan terbaik anak (the best interest of the child), sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi Hak Anak PBB.
Perlindungan hukum terhadap anak di era digital bukan hanya tugas negara, tetapi tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Orang tua, pendidik, media, platform digital, dan masyarakat sipil harus bersinergi menciptakan ekosistem digital yang aman, beretika, dan mendidik. Dunia digital tidak bisa dihindari, tetapi bisa diatur agar menjadi ruang yang manusiawi bagi tumbuh kembang anak.
Hukum harus hadir bukan hanya untuk menghukum setelah pelanggaran terjadi, tetapi untuk mencegah agar anak-anak Indonesia dapat tumbuh sebagai generasi cerdas, kritis, dan terlindungi di tengah derasnya arus digitalisasi global. Perlindungan hukum yang efektif di era digital bukan sekadar tentang teknologi, melainkan tentang komitmen kemanusiaan untuk menjaga masa depan bangsa.





