Fenomena mafia tanah di Indonesia merupakan salah satu permasalahan agraria paling kompleks dan sistemik yang terus menghantui negara hukum ini sejak masa kolonial hingga era modern. Mafia tanah bukan hanya sekadar praktik kejahatan pertanahan, tetapi telah berkembang menjadi jaringan terorganisir yang melibatkan oknum dari berbagai sektor, mulai dari pejabat pemerintahan, aparat penegak hukum, notaris, pengusaha, hingga masyarakat sipil yang terlibat secara langsung atau tidak langsung.
Mereka memanfaatkan celah hukum, tumpang tindih regulasi, lemahnya sistem administrasi pertanahan, serta korupsi di birokrasi untuk menguasai dan memperjualbelikan tanah secara ilegal. Fenomena ini menunjukkan betapa rapuhnya sistem pengelolaan sumber daya agraria di Indonesia, sekaligus menegaskan bahwa persoalan tanah bukan hanya urusan ekonomi, tetapi juga menyangkut keadilan sosial, hak asasi manusia, dan legitimasi negara dalam melindungi warganya.
Secara historis, akar dari persoalan mafia tanah dapat ditelusuri sejak masa kolonial ketika sistem kepemilikan tanah diatur secara diskriminatif. Tanah dijadikan instrumen kekuasaan ekonomi bagi penjajah, sementara rakyat pribumi hanya menjadi penyewa atau buruh di tanahnya sendiri. Setelah kemerdekaan, semangat untuk melakukan reformasi agraria diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menegaskan bahwa tanah memiliki fungsi sosial dan negara berkewajiban mengatur penggunaannya untuk kemakmuran rakyat.
Namun, cita-cita ini terhambat oleh birokrasi yang korup, ketidaktertiban administrasi, dan kebijakan pembangunan yang justru memperkuat ketimpangan kepemilikan tanah. Dalam konteks ini, munculnya mafia tanah dapat dipahami sebagai konsekuensi dari sistem agraria yang tidak adil, di mana kepemilikan dan penguasaan tanah lebih ditentukan oleh kekuatan modal dan koneksi daripada hak hukum. Dalam praktiknya, mafia tanah bekerja melalui jaringan kolusi yang melibatkan pihak-pihak dengan kekuasaan administratif dan akses terhadap dokumen resmi.
Modus operandi mereka sangat beragam. Salah satu bentuk paling umum adalah pemalsuan dokumen pertanahan, seperti sertifikat hak milik, akta jual beli, atau surat girik. Dengan bantuan oknum di kantor pertanahan atau notaris, dokumen tersebut dapat dimanipulasi sehingga tanah milik orang lain “berpindah tangan” secara sah secara administratif, meskipun secara hukum substansial merupakan hasil penipuan. Modus lain adalah tumpang tindih sertifikat, sebab satu bidang tanah memiliki dua atau lebih sertifikat yang diterbitkan oleh instansi berbeda karena lemahnya sistem pendaftaran tanah nasional.
Selain itu, ada pula praktik penyerobotan tanah dengan menggunakan preman bayaran, aparat keamanan, atau dukungan politik untuk menekan pemilik sah agar menyerahkan tanahnya. Dalam banyak kasus, tanah hasil “main belakang” ini kemudian dijual kepada pihak ketiga atau dijadikan jaminan kredit di bank.
Salah satu akar utama suburnya mafia tanah adalah lemahnya sistem administrasi dan digitalisasi pertanahan di Indonesia. Meskipun Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah berupaya melakukan modernisasi melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan digitalisasi sertifikat tanah, namun masih banyak daerah yang belum memiliki basis data pertanahan yang valid dan terintegrasi. Hal ini menciptakan ruang abu-abu yang mudah dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab untuk memalsukan atau menggandakan dokumen.
Keterbatasan sumber daya manusia dan masih kuatnya budaya koruptif di lingkungan birokrasi pertanahan membuat reformasi ini berjalan lambat. Banyak pejabat di level lokal yang justru menjadi bagian dari jaringan mafia tanah, menerima suap untuk mempercepat proses sertifikasi, memanipulasi peta bidang tanah, atau mengabaikan sengketa yang sedang berlangsung.
Mafia tanah tidak hanya menimbulkan kerugian individu, tetapi juga berdampak luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Di sektor ekonomi, praktik ini menciptakan ketidakpastian hukum bagi investor dan pelaku usaha, karena status kepemilikan tanah sering kali bisa digugat kapan saja. Banyak proyek strategis nasional, seperti pembangunan infrastruktur atau kawasan industri, tertunda akibat konflik lahan yang dipicu oleh manipulasi sertifikat atau klaim palsu.
Di sektor sosial, mafia tanah menyebabkan ketimpangan agraria semakin parah. Petani kecil, masyarakat adat, dan warga miskin kota menjadi korban penggusuran karena tanah yang mereka tempati “diakui” sebagai milik perusahaan atau individu yang memiliki dokumen resmi. Konflik horizontal pun tak terhindarkan, menimbulkan kekerasan, kriminalisasi warga, hingga pelanggaran hak asasi manusia. Dalam banyak kasus, korban yang mencoba memperjuangkan haknya justru dikriminalisasi dengan tuduhan menguasai tanah negara atau melawan hukum.
Fenomena mafia tanah juga memperlihatkan adanya hubungan erat antara kekuasaan politik dan ekonomi. Banyak kasus menunjukkan bahwa praktik mafia tanah dilindungi oleh jaringan kekuasaan yang kuat, baik di tingkat lokal maupun nasional. Dalam konteks ini, hukum seringkali tidak berdaya. Penegakan hukum terhadap pelaku mafia tanah berjalan lambat dan selektif. Meskipun Presiden Joko Widodo telah secara terbuka memerintahkan aparat untuk menindak tegas mafia tanah, hasilnya masih jauh dari harapan.
Berdasarkan laporan Kementerian ATR/BPN, hingga 2023 terdapat ribuan laporan terkait mafia tanah yang masuk setiap tahun, namun hanya sebagian kecil yang diproses hingga tuntas. Hal ini memperlihatkan adanya resistensi dari dalam institusi hukum sendiri, baik karena keterlibatan oknum aparat maupun karena lemahnya mekanisme koordinasi antara kepolisian, kejaksaan, dan BPN dalam penanganan perkara pertanahan. Dari sisi hukum positif, instrumen hukum untuk menindak mafia tanah sebenarnya sudah ada.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang melakukan pemalsuan dokumen, gratifikasi, atau penyalahgunaan wewenang. Selain itu, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Anti Mafia Tanah yang terdiri dari unsur BPN, Kepolisian, dan Kejaksaan untuk mempercepat penanganan kasus. Namun, efektivitas lembaga ini masih terbatas karena sifatnya reaktif, bukan preventif.
Satgas sering kali baru bertindak setelah konflik muncul di media atau mendapat perhatian publik, bukan melalui sistem deteksi dini. Di sisi lain, reformasi hukum agraria yang lebih mendasar belum sepenuhnya terlaksana. UUPA 1960, yang menjadi dasar hukum agraria nasional, sudah tidak relevan dengan kondisi sosial ekonomi saat ini dan perlu direvisi untuk mengatasi persoalan struktural kepemilikan tanah dan redistribusinya.
Selain aspek hukum, persoalan mafia tanah juga terkait erat dengan lemahnya kesadaran hukum masyarakat. Banyak warga yang tidak memiliki bukti hukum kuat atas tanah yang mereka miliki karena proses sertifikasi yang rumit dan mahal. Hal ini membuat mereka rentan terhadap klaim pihak lain. Di sisi lain, rendahnya literasi hukum membuat masyarakat sering menandatangani dokumen tanpa memahami konsekuensinya, seperti surat kuasa atau akta jual beli yang kemudian disalahgunakan.
Mafia tanah memanfaatkan ketidaktahuan ini untuk menguasai lahan secara legal-formal. Oleh karena itu, pemberantasan mafia tanah tidak cukup hanya melalui penegakan hukum, tetapi juga melalui edukasi hukum dan penyederhanaan prosedur administrasi agar masyarakat dapat dengan mudah memperoleh kepastian hukum atas tanahnya.
Secara moral dan sosial, mafia tanah mencerminkan degradasi nilai keadilan dan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan bagian dari identitas, ruang hidup, dan sumber kesejahteraan. Ketika negara gagal melindungi hak kepemilikan tanah warganya, maka kepercayaan terhadap hukum dan pemerintah ikut terkikis.
Negara yang membiarkan mafia tanah beroperasi berarti telah membiarkan ketidakadilan struktural menjadi norma. Dalam konteks ini, peran pemerintah seharusnya tidak hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pelindung sosial yang memastikan distribusi dan penggunaan tanah berjalan sesuai asas kemakmuran bersama. Untuk memutus mata rantai mafia tanah, diperlukan langkah komprehensif yang melibatkan aspek hukum, teknologi, dan sosial.
Dari sisi hukum, perlu dilakukan pengetatan regulasi pertanahan, terutama dalam sistem administrasi dan sertifikasi. Setiap proses jual beli, hibah, atau pengalihan hak harus terintegrasi secara digital melalui sistem nasional yang tidak bisa dimanipulasi oleh individu tertentu. Digitalisasi peta pertanahan berbasis blockchain bisa menjadi solusi untuk memastikan transparansi dan keamanan data kepemilikan tanah.
Dari sisi kelembagaan, perlu penguatan fungsi pengawasan internal di BPN, kepolisian, dan lembaga peradilan agar praktik kolusi dapat diminimalisir. Dari sisi sosial, penting untuk memperluas program sertifikasi massal dan pendidikan hukum agraria bagi masyarakat agar mereka mampu melindungi haknya secara mandiri.





