Isu tumpang tindih hukum lingkungan di Indonesia merupakan salah satu persoalan serius yang tidak hanya berdampak pada efektivitas penegakan hukum, tetapi juga pada keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam, perlindungan ekosistem, serta kepastian hukum bagi masyarakat maupun pelaku usaha.
Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan biodiversitas yang luar biasa, membutuhkan perangkat hukum lingkungan yang kuat, jelas, dan konsisten. Namun, dalam praktiknya, berbagai regulasi yang lahir dari tingkat pusat hingga daerah sering kali saling bertabrakan, menimbulkan dualisme kewenangan, bahkan membuka celah bagi eksploitasi yang merugikan lingkungan hidup.
Salah satu sumber utama tumpang tindih hukum lingkungan di Indonesia adalah banyaknya undang-undang sektoral yang mengatur sumber daya alam secara parsial. Misalnya, ada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang bersifat payung hukum (umbrella act), tetapi di sisi lain terdapat undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Perkebunan, UU Kelautan, hingga UU Cipta Kerja yang masing-masing mengatur dengan perspektif sektoral dan kadang tidak sinkron. Kondisi ini membuat implementasi hukum lingkungan sering kali berjalan dengan arah yang berbeda, tergantung pada sektor dan kementerian terkait.
Contoh nyata tumpang tindih terlihat dalam kasus kawasan hutan. Menurut UU Kehutanan, kawasan hutan dikelola dengan izin tertentu dan harus melalui mekanisme pelepasan atau pinjam pakai. Namun, UU Perkebunan maupun UU Minerba kerap memberikan ruang legalisasi bagi aktivitas di kawasan hutan, termasuk izin perkebunan kelapa sawit dan tambang, meski tidak selalu selaras dengan ketentuan perlindungan lingkungan. Akibatnya, izin tumpang tindih antar sektor sering kali dikeluarkan oleh otoritas berbeda, sehingga menimbulkan konflik kewenangan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ESDM, serta pemerintah daerah.
Tumpang tindih hukum juga tercermin pada level perizinan. Sistem perizinan berlapis yang melibatkan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sering kali menghasilkan ketidakpastian hukum. Ada kasus di mana pemerintah daerah mengeluarkan izin usaha pertambangan atau perkebunan, tetapi kemudian ditolak atau digugat oleh pemerintah pusat karena bertentangan dengan ketentuan lingkungan hidup nasional.
Kondisi ini tidak hanya merugikan investor yang mencari kepastian hukum, tetapi juga memperburuk kondisi lingkungan karena eksploitasi terlanjur dilakukan sebelum ada kejelasan legalitas izin. Selain itu, keberadaan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) memperumit persoalan. Meskipun UU ini diklaim menyederhanakan regulasi, dalam praktiknya justru menimbulkan perdebatan karena dianggap mengurangi standar perlindungan lingkungan.
Misalnya, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang sebelumnya menjadi instrumen penting perlindungan lingkungan kini tidak lagi diwajibkan untuk semua jenis usaha, melainkan hanya untuk kategori tertentu. Hal ini menimbulkan benturan dengan prinsip dasar UU PPLH yang menekankan pada pencegahan pencemaran dan kerusakan sejak awal.
Aspek lain yang memperparah tumpang tindih adalah lemahnya koordinasi antar lembaga negara. Kementerian, pemerintah daerah, hingga lembaga penegak hukum sering kali bekerja dengan logika sektoral masing-masing, tanpa integrasi yang jelas. Akibatnya, ketika terjadi pelanggaran lingkungan seperti pembakaran hutan, pencemaran sungai, atau pertambangan ilegal, proses penegakan hukum menjadi berbelit, saling lempar tanggung jawab, bahkan dalam beberapa kasus tidak tuntas. Kondisi ini mencerminkan absennya satu sistem hukum lingkungan yang terpadu dan konsisten.
Dampak dari tumpang tindih hukum lingkungan ini tidak hanya berupa kerusakan ekosistem, tetapi juga konflik sosial. Masyarakat adat dan lokal sering kali menjadi korban karena hak mereka atas tanah dan sumber daya alam diabaikan atau terpinggirkan akibat izin tumpang tindih. Kasus sengketa tanah antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan atau tambang hampir selalu berakar dari disharmoni regulasi dan perizinan.
Selain itu, tumpang tindih hukum juga menciptakan ruang korupsi, karena pejabat yang memiliki kewenangan ganda dapat memperjualbelikan izin untuk kepentingan tertentu. Namun demikian, meskipun persoalan ini berat, ada peluang perbaikan. Harmonisasi hukum lingkungan menjadi langkah mutlak yang harus ditempuh.
Pertama, pemerintah perlu mengkonsolidasikan berbagai undang-undang sektoral dalam kerangka hukum lingkungan nasional yang bersifat komprehensif dan integratif. Kedua, mekanisme perizinan harus disederhanakan dengan prinsip one map policy dan one data policy, sehingga tidak ada lagi izin ganda di atas lahan yang sama. Ketiga, perlu ada penguatan kelembagaan dan koordinasi antar instansi, baik di tingkat pusat maupun daerah, dengan menekankan pada prinsip environmental mainstreaming dalam setiap kebijakan pembangunan.
Selain harmonisasi regulasi, partisipasi publik juga harus diperluas. Proses penyusunan kebijakan lingkungan tidak boleh hanya didominasi oleh kepentingan pemerintah dan korporasi, tetapi harus melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas lokal. Dengan keterlibatan publik yang lebih kuat, kebijakan lingkungan dapat lebih akuntabel dan berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang, bukan hanya pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek.





