Rekognisi Hukum terhadap Masyarakat Adat

Rekognisi hukum terhadap masyarakat adat selalu menjadi medan perdebatan yang tidak hanya berpusat pada dimensi legal-formal, tetapi juga menyangkut dimensi filosofis, politik, dan moralitas negara dalam mengatur warganya. Di Indonesia, yang dikenal sebagai negara kepulauan dengan keragaman etnis, bahasa, dan adat istiadat yang begitu kaya, isu pengakuan masyarakat adat menyimpan paradoks.

Di satu sisi, konstitusi secara eksplisit menyebutkan keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya, tetapi di sisi lain implementasi terhadap pengakuan itu sering kali terjebak pada logika negara yang menundukkan eksistensi komunitas adat ke dalam tafsir sempit kekuasaan. Kontradiksi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah rekognisi hukum yang diberikan negara benar-benar hadir untuk melindungi hak-hak asli masyarakat adat, ataukah sekadar menjadi alat domestikasi demi kepentingan pembangunan dan kapitalisme modern yang menyaru dalam wajah hukum?

Rekognisi hukum pada dasarnya berangkat dari kesadaran bahwa masyarakat adat memiliki sistem sosial, budaya, dan hukum yang sudah eksis jauh sebelum lahirnya negara modern. Kearifan lokal yang diwujudkan melalui hukum adat tidak hanya mengatur relasi antarmanusia dalam komunitas, tetapi juga mengatur hubungan dengan alam, tanah, hutan, sungai, serta segala sesuatu yang menjadi ruang hidup mereka.

Hukum adat memiliki dimensi ekologis dan spiritual yang jauh melampaui positivisme hukum negara. Namun, ketika negara hadir dengan klaim monopoli atas hukum melalui sistem hukum nasional, terjadi benturan epistemologis antara dua entitas: negara yang memandang hukum sebagai instrumen formalisasi kekuasaan, dan masyarakat adat yang memahami hukum sebagai praktik hidup keseharian yang organik. Di sinilah rekognisi hukum terhadap masyarakat adat sering kali berakhir menjadi kompromi semu, sebab yang diakui hanya sejauh negara mampu mengontrol dan mendefinisikan kembali adat dalam kerangka regulasi formal.

Konstitusi Indonesia, terutama Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, dengan tegas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Formulasi konstitusional ini sekilas tampak progresif, namun syarat yang melekat di dalamnya justru membuka ruang problematik yang tidak kecil. Frasa “sepanjang masih hidup” dan “sesuai dengan perkembangan masyarakat” mengandung muatan politis yang memungkinkan negara melakukan reduksi pengakuan secara sewenang-wenang.

Kehidupan masyarakat adat yang secara empiris nyata sering kali dipersoalkan keberadaannya hanya karena tidak tercatat dalam administrasi negara atau dianggap bertentangan dengan agenda pembangunan. Maka, pengakuan konstitusional itu bisa berubah menjadi instrumen eksklusi yang menyembunyikan logika subordinasi: negara mengakui hanya jika masyarakat adat tunduk pada parameter yang ditentukan negara.

Dalam praktiknya, peraturan perundang-undangan yang lahir untuk mengoperasionalisasikan amanat konstitusi pun tidak jarang memperlihatkan wajah yang ambigu. Undang-Undang Kehutanan, misalnya, sempat menegaskan bahwa hutan adat adalah bagian dari hutan negara, sehingga klaim kepemilikan masyarakat adat terhadap hutan-hutan yang mereka kelola selama berabad-abad tiba-tiba terhapus hanya karena perubahan redaksi normatif.

Mahkamah Konstitusi kemudian melalui Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 mencoba mengoreksi kekeliruan itu dengan menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara. Putusan ini sering dirayakan sebagai tonggak penting rekognisi hukum terhadap masyarakat adat, tetapi pertanyaan kritis tetap menggantung: sejauh mana putusan itu diimplementasikan di lapangan, ketika birokrasi kehutanan dan kepentingan investasi ekstraktif terus mendominasi kebijakan pembangunan? Fakta bahwa konflik agraria dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat masih marak menunjukkan adanya kesenjangan serius antara teks hukum dan realitas sosial.

Rekognisi hukum terhadap masyarakat adat juga tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik ekonomi global. Agenda pembangunan nasional yang berorientasi pada investasi, infrastruktur, dan ekstraksi sumber daya alam kerap mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Perusahaan perkebunan, tambang, hingga proyek strategis nasional sering kali menempatkan komunitas adat sebagai penghalang yang harus dieliminasi atau diintegrasikan secara paksa.

Negara, dengan dalih kepentingan umum, menggunakan instrumen hukum untuk melegitimasi perampasan tanah adat melalui mekanisme konsesi, izin usaha, atau penetapan proyek strategis. Dengan demikian, hukum yang seharusnya menjadi medium rekognisi justru menjelma menjadi senjata hegemoni yang mengabaikan asas keadilan substantif. Fenomena ini memperlihatkan betapa hukum negara masih beroperasi dalam kerangka legalistik yang mengutamakan kepastian bagi investor, bukan kepastian bagi komunitas adat yang sejak lama menjaga tanah dan hutannya.

Jika rekognisi hukum dipahami hanya sebatas pencantuman dalam konstitusi atau pengesahan dalam undang-undang, maka sejatinya negara masih terjebak dalam paradigma legalisme sempit. Rekognisi yang sejati seharusnya mengandung dimensi transformasi sosial dan keadilan ekologis.

Pengakuan tidak cukup berhenti pada pernyataan formal, tetapi harus diwujudkan melalui redistribusi akses dan penguatan kelembagaan adat agar mereka dapat mengelola sumber daya sesuai dengan nilai dan norma yang mereka anut. Rekognisi berarti negara harus bersedia melepaskan sebagian klaim kedaulatannya dan mengakui adanya kedaulatan lain yang hidup dalam masyarakat adat. Tentu hal ini menantang konsep negara modern yang cenderung monolitik, tetapi tanpa keberanian untuk mengakui pluralisme hukum secara substansial, rekognisi akan tetap menjadi jargon kosong.

Kritik lain yang sering muncul adalah bagaimana rekognisi hukum sering kali dikomodifikasi dalam politik identitas. Masyarakat adat kerap dijadikan simbol eksotis dalam kampanye kebudayaan atau lingkungan hidup, tetapi ketika berbicara tentang redistribusi tanah atau penghentian proyek ekstraktif, suara mereka diabaikan.

Bahkan, dalam beberapa kasus, negara atau lembaga internasional memanfaatkan representasi masyarakat adat untuk mengamankan legitimasi politik, misalnya dalam program REDD+ atau mekanisme kompensasi karbon, sementara hak-hak dasar komunitas atas tanah dan hutan tetap tidak terjamin.

Fenomena ini menunjukkan bahwa rekognisi sering kali bersifat instrumental, di mana masyarakat adat hanya diakui sejauh mereka dapat mendukung agenda politik-ekonomi dominan. Namun demikian, tidak adil jika rekognisi hukum hanya dipahami dari kacamata relasi vertikal antara negara dan masyarakat adat. Harus diakui bahwa masyarakat adat sendiri memiliki dinamika internal yang kompleks, termasuk soal kepemimpinan, gender, dan generasi muda.

Rekognisi hukum yang sejati juga harus memperhatikan aspek internal ini agar tidak melanggengkan struktur sosial yang mungkin diskriminatif di dalam komunitas. Misalnya, praktik adat tertentu yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat harus dilihat secara kritis agar rekognisi hukum tidak berakhir pada justifikasi atas ketidakadilan gender. Artinya, rekognisi hukum terhadap masyarakat adat harus diiringi dengan dialog kritis yang memungkinkan transformasi internal tanpa menghilangkan identitas kolektif mereka.

Hukum adat memperlihatkan bahwa hukum tidak selalu lahir dari teks formal atau institusi negara, melainkan dari praktik sosial yang berakar pada pengalaman kolektif. Dengan mengakui masyarakat adat, negara seharusnya juga mengakui pluralisme epistemologis dalam hukum, bahwa ada banyak cara manusia mengatur dirinya yang sah dan legitimate. Namun, dominasi paradigma positivistik sering kali menolak pluralisme itu dengan alasan keseragaman nasional. Inilah yang kemudian melahirkan politik hukum yang represif, di mana pluralitas diakui secara formal tetapi diseragamkan dalam praktik.

Dalam konteks demokrasi, rekognisi hukum terhadap masyarakat adat juga seharusnya dipandang sebagai bagian dari pendalaman demokrasi itu sendiri. Demokrasi tidak hanya soal prosedur elektoral, melainkan juga tentang bagaimana suara-suara yang selama ini terpinggirkan diberi ruang untuk menentukan arah hidupnya.

Dengan mengakui masyarakat adat, negara membuka peluang untuk memperluas ruang partisipasi politik dan memperkaya demokrasi substantif. Namun, jika rekognisi hanya dilakukan secara prosedural tanpa memberikan ruang otonomi yang nyata, maka demokrasi justru kehilangan makna karena gagal menjangkau akar persoalan keadilan.

Dari semua kompleksitas tersebut, jelas bahwa rekognisi hukum terhadap masyarakat adat bukan sekadar persoalan teknis hukum, melainkan juga persoalan ideologi dan orientasi pembangunan. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah: apakah negara bersedia mengubah paradigma dari pembangunan yang eksploitatif menuju pembangunan yang berbasis pada keadilan ekologis dan sosial?

Apakah negara bersedia mengakui bahwa masyarakat adat bukanlah relik masa lalu yang harus diintegrasikan, tetapi justru mitra sejati dalam menjaga keberlanjutan bangsa? Rekognisi hukum sejati membutuhkan keberanian politik, bukan sekadar perubahan redaksi undang-undang. Ia menuntut pergeseran cara pandang negara terhadap rakyatnya, dari objek pembangunan menjadi subjek yang berdaulat.

Rekognisi hukum terhadap masyarakat adat adalah cermin moralitas bangsa. Bangsa yang gagal menghormati komunitas adatnya adalah bangsa yang mengkhianati akar budayanya sendiri. Rekognisi yang setengah hati hanya akan melanggengkan konflik, ketidakadilan, dan kerusakan ekologis. Tetapi rekognisi yang sungguh-sungguh, yang diwujudkan dalam redistribusi tanah, pengakuan kedaulatan lokal, serta penghormatan terhadap nilai-nilai adat, akan menjadi fondasi bagi terciptanya keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis yang sejati.

Di sinilah hukum harus mengambil peran sebagai jembatan, bukan sebagai alat kekuasaan semata. Rekognisi hukum bukanlah hadiah dari negara kepada masyarakat adat, melainkan pengakuan atas fakta historis bahwa masyarakat adat adalah pemilik sah tanah air ini sejak awal mula.

Related Posts

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Perlindungan hukum untuk pekerja migran Indonesia merupakan isu yang memiliki dimensi sosial, ekonomi, dan politik yang sangat kompleks, karena menyangkut jutaan warga negara yang menggantungkan hidupnya di luar negeri dan…

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa depan pers di tengah tekanan politik merupakan topik yang semakin krusial dalam konteks demokrasi Indonesia yang sedang mengalami dinamika kompleks antara kebebasan berekspresi, kekuatan ekonomi-politik, dan transformasi digital yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You Missed

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital

Media Sosial sebagai Arena Pertarungan Politik di Indonesia

Media Sosial sebagai Arena Pertarungan Politik di Indonesia