Isu hak asasi manusia dalam politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pergulatan antara norma hukum dan realitas kekuasaan yang kerap bersifat destruktif, sebab negara yang idealnya menjamin kebebasan warga negara justru seringkali menjadi sumber intimidasi, pembungkaman, dan pengekangan. Dalam ruang politik yang kacau, HAM sering dijadikan alat legitimasi retorik oleh partai atau tokoh, namun dalam praktiknya ia kerap mengalami degradasi ketika konfrontasi kepentingan muncul.
Sejak era Orde Baru sampai transformasi pasca reformasi, hubungan antara kekuasaan negara dan HAM terus mengalami ketegangan, terutama ketika unsur keamanan dan politik pragmatis menguasai agenda pemerintahan. Konstitusi UUD 1945 pasca amandemen memang memuat jaminan hak asasi manusia, termasuk hak sipil-politik, kebebasan berekspresi, hak memperoleh keadilan, dan perlindungan dari perlakuan sewenang-wenang. Namun jaminan formal tersebut tidak secara otomatis menjamin implementasi yang efektif dalam praktik pemerintahan.
Dalam politik hukum, negara harus merancang regulasi, lembaga penegak, dan mekanisme kontrol agar HAM tidak menjadi sekadar retorika. Kebijakan pro HAM harus menyatu dengan desain kelembagaan yang memungkinkan akuntabilitas, transparansi, dan perlindungan terhadap kelompok rentan. Tetapi di Indonesia, sering terjadi bahwa regulasi yang tampak progresif di tingkat normatif tetap dilanggar atau diabaikan ketika bersentuhan dengan kepentingan politik dominan.
Salah satu aspek paling mencolok dari isu HAM dalam politik Indonesia adalah kriminalisasi dan represi terhadap aktor kritis: jurnalis, aktivis, mahasiswa, dan pembela HAM. Pada tahun 2023 Amnesty International mencatat ada 95 serangan terhadap pembela HAM, dengan total korban mencapai 268 orang, termasuk penangkapan, intimidasi fisik, dan kriminalisasi.
Operasi pembungkaman ini sering kali dilakukan melalui aparat keamanan atau instrumen hukum yang multitafsir, seperti undang-undang keamanan, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), atau langkah administratif. Bahkan ketika lembaga negara menjanjikan perlindungan, kenyataannya sering muncul ancaman langsung, pemantauan digital, penyadapan, atau intimidasi terhadap media dan individu yang menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah, sebuah tren yang mulai diperhatikan secara internasional.
Terkait pemilu dan politik elektoral, isu HAM sangat rawan disinggung dalam fase kampanye dan pascapemilu. Dalam setiap pemilihan, Komnas HAM menyebut ada sejumlah kategori pelanggaran HAM yang kerap muncul, seperti tekanan terhadap kebebasan berekspresi, intimidasi terhadap tim sukses atau relawan, pelanggaran kebebasan berkumpul, dan bahkan penyalahgunaan aparat keamanan untuk mendukung salah satu kandidat.
Dalam banyak kasus, janji kampanye terkait HAM tidak konsisten ketika partai atau pemimpin terpilih menghadapi kepentingan politik dan kekuasaan. Konstelasi kekuasaan pasca pemilu seringkali menyebabkan prioritas HAM tersingkir oleh agenda konsolidasi kekuasaan, stabilitas politik, atau pembangunan yang mengabaikan partisipasi masyarakat dan dampak sosial-ekologis.
Konflik agraria dan penggusuran menjadi medan konflik HAM yang sangat relevan dalam politik Indonesia. Ketika negara atau korporasi mempercepat pembangunan, sering kali masyarakat lokal menjadi korban penggusuran tanpa proses musyawarah yang adil, tanpa kompensasi yang layak, atau bahkan menggunakan kekerasan. Banyak pengaduan di Komnas HAM terkait sengketa tanah, perampasan ruang hidup, dan ketidakpastian hukum dalam kepemilikan lahan.
Dalam konteks politik, proyek-proyek pembangunan besar (misalnya proyek strategis nasional) sering dihadapkan pada dilema: apakah pembangunan akan berpihak pada keberlanjutan sosial dan HAM, ataukah menjadi alat akumulasi modal elite at cost rakyat kecil? Komnas HAM sendiri pernah menegur bahwa pelaksanaan PSN (Proyek Strategis Nasional) berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM apabila prinsip hukum, partisipasi publik, dan perlindungan kelompok rentan diabaikan.
Di area konflik horizontal dan wilayah otonomi khusus, isu HAM juga sangat sensitif. Misalnya di Papua, konflik antara kelompok separatis, aparat keamanan, dan masyarakat sipil telah menciptakan kondisi di mana kebebasan berpendapat atau protes atas masalah kesejahteraan sering dikaitkan dengan separatisme, yang kemudian digunakan sebagai justifikasi tindakan represif negara.
Kejadian kerusuhan di Wamena Februari 2023 adalah contoh ketika situasi lokal mengerucut menjadi konflik antara masyarakat dan aparat keamanan, menimbulkan korban jiwa dan kerusakan material. Negara seringkali kurang mampu menghadirkan dialog yang berimbang dan perlindungan substansial atas HAM di daerah konflik. Akibatnya, warga yang ingin menyuarakan aspirasi sosial atau politik di wilayah marjinal ini sering menghadapi risiko pelanggaran serius.
Ketegangan antara militer dan sipil dalam relasi kuasa negara menjadi tantangan struktural terhadap HAM dalam politik. Tren legislatif baru yang memperluas peran militer dalam jabatan sipil menjadi sinyal yang mengkhawatirkan bagi banyak pengamat demokrasi. Di tahun 2025 legislatif Indonesia disahkan undang-undang yang memperbolehkan personel militer menjabat pada jabatan sipil yang lebih luas daripada sebelumnya, misalnya di lembaga intelijen, kejaksaan, sekretariat negara, badan narkotika, dan lain-lain.
Praktik ini membuka celah bagi militer untuk lebih berperan dalam pengambilan keputusan sipil, yang bisa mengaburkan batas antara pertahanan dan politik yang menjadi suatu formula yang di masa lalu terbukti berpotensi melanggengkan otoritarianisme dan pelanggaran HAM. Keterlibatan militer yang makin menjalar ke ranah sipil dapat melemahkan lembaga pengawas sipil, dan mengurangi ruang bagi akuntabilitas terhadap tindakan aparat.
Sisi normatif politik HAM juga mengalami distorsi manakala pejabat publik menggunakan retorika HAM sebagai semacam legitimasi moral, tetapi ketika dihadapkan pada keputusan konkret, kepentingan politik mendominasi. Program pemerintah atau kementerian HAM seringkali kekurangan dukungan anggaran atau kewenangan memadai untuk melakukan intervensi terhadap pelanggaran tingkat tinggi.
Contohnya, ketika Natalius Pigai diangkat sebagai Menteri HAM di kabinet Prabowo tahun 2024, publik mempertanyakan apakah kementerian tersebut memiliki kapasitas nyata untuk mengawasi tindakan pemerintah sendiri, atau hanya menjadi tubuh simbolik tanpa instrumen kuat. Jika kelembagaan HAM tetap lemah dalam struktur negara, maka setiap upaya perlindungan HAM akan terombang-ambing antara aspirasi dan realitas kekuasaan.
Dalam politik praktis, mobilisasi rakyat sebagai respons terhadap pelanggaran HAM, melalui gerakan massa dan protes publik, menunjukkan bahwa HAM bukan hanya domain hukum tetapi juga medan perjuangan politik. Gelombang protes tahun 2025 dengan slogan “17+8 Tuntutan Rakyat” salah satunya menuntut agar militer kembali ke barak, memperkuat lembaga pengawas HAM, dan membebaskan demonstran yang ditahan.
Tuntutan tersebut mencerminkan kesadaran publik bahwa HAM harus dihadirkan dalam struktur demokrasi, bukan menjadi barang tebusan di meja politik elite. Respons negara terhadap tuntutan ini akan menjadi tolok ukur sejauh mana politik di Indonesia dapat merefleksikan aspirasi hak asasi manusia, atau kembali mendewakan kekuasaan mayoritas yang represif.
Sayangnya, tindakan represif terhadap protes tersebut sering muncul dalam bentuk kekerasan aparat atau kriminalisasi terhadap peserta demonstrasi. Bahkan ketika media atau aktivis menyoroti tindakan pemerintah dengan cara kritis, mereka berisiko mendapat ancaman fisik atau psikologis. Bulan Maret 2025 muncul kasus pemberian kepala babi dan tikus tanpa kepala kepada wartawan investigatif yang menjadi sebuah aksi intimidasi simbolik yang menyasar kebebasan pers dan diskursus publik. Suasana ancaman semacam ini menumbuhkan iklim pembungkaman sebab jurnalis atau individu yang tajam secara sistemik akan memilih jalan diam atau sensor diri.
Ketimpangan dalam penerapan HAM juga mencerminkan bahwa kelompok marjinal, seperti kaum minoritas agama, etnis, rakyat adat, penyandang disabilitas, perempuan, dan LGBT+ masih sangat rentan terhadap kekerasan simbolik maupun struktural. Pada ruang digital, ujaran kebencian dan konten diskriminatif tumbuh pesat terutama menjelang periode politik panas.
Dalam dataset IndoToxic2024, peneliti mencatat ledakan rasio hate speech di Indonesia, dengan kelompok seperti Shia, LGBT, dan etnis minoritas menjadi target utama, terutama selama kampanye politik. Pola ini menunjukkan bahwa politik identitas dapat dijadikan senjata untuk mengkriminalisasi lawan atau merendahkan oposisi di ranah publik, yang sejatinya adalah pelanggaran HAM dalam bentuk kebebasan berekspresi dan kesetaraan perlakuan.
Upaya reformasi penegakan HAM sejatinya telah diarahkan sejak era reformasi untuk pembentukan Komnas HAM, penerbitan undang-undang HAM, dan pembentukan mekanisme pengadilan HAM khusus namun reformasi itu belum menyapu habis akar budaya kekuasaan yang represif. Tantangan terbesar bukan sekadar membuat hukum baru, melainkan mengubah mentalitas birokrasi dan kultur kekuasaan agar tunduk pada prinsip hak asasi manusia. Penegak hukum dan aparat keamanan perlu dididik agar memahami bahwa keberadaan mereka adalah pelayanan terhadap warga, bukan panggung dominasi.
Sistem kelembagaan pengawasan mulai dari Komnas HAM, Ombudsman, lembaga legislatif, hingga mekanisme pengadilan tetap harus diperkuat agar tidak menjadi boneka kepentingan politik. Komnas HAM, sebagai lembaga nasional, memiliki kewenangan untuk mendalami laporan pelanggaran HAM dan melakukan penyuluhan, namun dalam kenyataannya kerap menghadapi keterbatasan dana, sumber daya manusia, dan hambatan akses terhadap data yang sensitif. Tanpa penguatan struktural dan otonomi nyata, lembaga ini berisiko dianggap sebagai organ simbolis belaka.
Penyelarasan antara norma nasional dan komitmen internasional juga menjadi medan perdebatan. Indonesia telah meratifikasi beberapa instrumen HAM internasional, namun dalam praktik penyusunan hukum domestik dan implementasi kebijakan, seringkali terjadi ketegangan antara kepentingan nasional dan komitmen global. Negara berargumen bahwa konsep HAM universal harus diselaraskan dengan nilai lokal dan kearifan budaya daerah, namun seringkali argumentasi semacam ini dijadikan pembenaran untuk menolak standar HAM yang dianggap menyentuh otoritas negara.
Mengaitkan isu HAM dengan logika kekuasaan, politik identitas, dan kepentingan ekonomi, kita melihat bahwa HAM dalam politik Indonesia tidak bisa diletakkan hanya sebagai isu moral atau normatif sebab ia adalah medan konflik kekuasaan. Ketika elite politik menyadari bahwa HAM dapat dipakai sebagai senjata moral untuk meraih legitimasi, maka mereka pun akan merumuskan narasi tetapi mempertahankan prerogatif kekuasaan. Penyusunan kebijakan pro HAM harus mengandung elemen strategis: mekanisme kontrol independen, akses publik terhadap informasi, perlindungan terhadap whistleblower, dan sanksi konkret bagi pelanggar HAM tanpa kecuali.
Arah ke depan adalah: apakah Indonesia akan membiarkan HAM terus menjadi korban tarik ulur kekuasaan politis, ataukah berani menciptakan politik baru di mana setiap kebijakan politik diuji terlebih dahulu dari implikasi HAM-nya? Reformasi struktur kekuasaan harus menempatkan HAM tidak sebagai pelengkap demokrasi, melainkan sebagai syarat mutlak agar demokrasi itu sendiri bermakna.
Jika negara gagal memposisikan HAM sebagai prasyarat legitimasi politik, maka retorika demokrasi akan kehilangan makna ketika rakyat yang paling rentan dibungkam oleh aparatus yang seharusnya melayani mereka. Politik Indonesia harus diuji sampai ke inti: apakah negara hadir untuk mempertahankan supremasi manusia atau supremasi kekuasaan.




