Islam Agama Perlawanan

Pemaknaan Islam sebagai agama perlawanan tidak dapat dipisahkan dari sejarah kemunculannya pada abad ke-7 M di jazirah Arab yang ketika itu berada dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik yang sarat dengan ketidakadilan. Masyarakat Arab pra-Islam atau jahiliyah hidup dalam sistem tribalistik yang meminggirkan kelompok lemah, menindas perempuan, menormalisasi perbudakan, serta memuja kekayaan dan status sosial.

Dalam konteks inilah, risalah Islam hadir membawa pesan tauhid yang tidak hanya bermakna teologis, melainkan juga politis dan sosial, yaitu menentang segala bentuk penindasan, eksploitasi, serta penyembahan terhadap selain Allah. Tauhid yang diperkenalkan Nabi Muhammad bukan sekadar keyakinan pada keesaan Tuhan, tetapi juga sebuah deklarasi pembebasan bahwa tidak ada otoritas absolut selain Allah, sehingga manusia tidak boleh tunduk pada penguasa yang zalim, struktur sosial yang diskriminatif, ataupun praktik ekonomi yang merampas martabat kemanusiaan.

Sejarah kenabian Muhammad menunjukkan bagaimana misi Islam bersifat transformatif sekaligus konfrontatif terhadap struktur sosial yang mapan. Dakwah tauhid menimbulkan resistensi keras dari elit Quraisy yang merasa kepentingan politik dan ekonominya terganggu. Penolakan kaum Quraisy bukan hanya soal perbedaan keyakinan, tetapi juga soal ancaman terhadap status quo yang menopang dominasi mereka.

Islam dengan tegas menolak praktik riba yang dieksploitasi para saudagar kaya, menuntut persamaan kedudukan antara budak dan tuan, serta memberi hak dan penghargaan terhadap perempuan yang sebelumnya diperlakukan sebagai komoditas. Ajaran ini jelas menjadi bentuk perlawanan ideologis terhadap sistem yang menguntungkan minoritas elit. Dalam konteks ini, Islam bukan hanya agama spiritual, tetapi juga gerakan sosial yang membela kaum mustadh’afin, yaitu kelompok yang dilemahkan dan ditindas.

Semangat perlawanan ini kemudian menjadi salah satu ciri fundamental Islam sepanjang sejarahnya, di mana Islam tidak hanya menjadi ajaran ibadah personal, melainkan juga etika sosial yang menentang penindasan dalam bentuk apapun. Dimensi perlawanan dalam Islam juga terlihat dalam strategi politik Nabi Muhammad ketika membangun komunitas Muslim di Madinah.

Piagam Madinah, yang sering disebut sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah, memperlihatkan upaya Nabi untuk menciptakan sebuah tatanan sosial yang egaliter, inklusif, dan berbasis pada prinsip keadilan. Dalam piagam tersebut, umat Islam, Yahudi, dan kelompok lain di Madinah dijamin hak-haknya sebagai bagian dari satu komunitas politik, dengan komitmen saling melindungi dan menegakkan keadilan.

Piagam ini dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap tribalism eksklusif yang memecah belah masyarakat jahiliyah. Dalam konteks geopolitik, Islam tampil sebagai kekuatan perlawanan terhadap dominasi dua imperium besar kala itu, Bizantium dan Persia, yang selama berabad-abad menindas bangsa Arab melalui kolonialisme ekonomi dan politik. Ekspansi Islam ke luar jazirah Arab di abad-abad berikutnya dapat dipahami tidak hanya sebagai penyebaran agama, tetapi juga sebagai ekspresi perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan lama yang korup dan menindas.

Dalam perkembangan sejarah Islam setelah wafatnya Nabi, semangat perlawanan tetap menjadi salah satu motif utama dalam berbagai gerakan sosial dan politik umat. Perlawanan kaum Khawarij, meskipun kontroversial secara teologis, lahir dari ketidakpuasan terhadap praktik politik yang dianggap menyimpang dari nilai keadilan Islam. Demikian juga gerakan-gerakan oposisi terhadap dinasti Umayyah dan Abbasiyah seringkali didorong oleh semangat untuk melawan praktik otoritarianisme dan penyalahgunaan kekuasaan.

Di sisi lain, tradisi intelektual Islam yang berkembang dalam bentuk ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf juga dapat dibaca sebagai bentuk perlawanan epistemologis terhadap hegemoni pemikiran yang stagnan. Para ulama dan sufi, dengan cara mereka masing-masing, menegaskan kembali bahwa inti ajaran Islam adalah pembebasan manusia dari segala bentuk perbudakan, baik yang bersifat material, politik, maupun spiritual. Oleh sebab itu, Islam sebagai agama perlawanan tidak hanya hadir dalam bentuk konfrontasi fisik atau politik, tetapi juga dalam ranah ide, pengetahuan, dan spiritualitas.

Pada era modern, pemaknaan Islam sebagai agama perlawanan menemukan relevansi baru dalam konteks kolonialisme dan imperialisme. Sejak abad ke-18 hingga abad ke-20, dunia Islam berada di bawah dominasi kekuatan kolonial Barat yang tidak hanya menjarah sumber daya alam, tetapi juga menghancurkan tatanan politik, budaya, dan identitas masyarakat Muslim. Dalam situasi ini, Islam menjadi sumber inspirasi utama bagi berbagai gerakan perlawanan antikolonial.

Di Indonesia, perlawanan terhadap penjajah Belanda banyak dipimpin oleh ulama dan tokoh Islam yang memobilisasi masyarakat dengan semangat jihad. Gerakan Diponegoro, perang Aceh, hingga perjuangan Sarekat Islam merupakan contoh bagaimana Islam dipahami sebagai kekuatan mobilisasi rakyat untuk melawan penindasan kolonial. Hal serupa juga terjadi di berbagai wilayah lain, seperti perlawanan Imam Shamil di Kaukasus melawan Rusia, atau perlawanan Mahdi di Sudan melawan Inggris. Islam dalam konteks ini menjadi simbol pembebasan dan resistensi terhadap dominasi asing, menggabungkan dimensi spiritual dengan dimensi politik dan sosial.

Bahaya dan tantangan dari pemaknaan Islam sebagai agama perlawanan muncul ketika semangat perlawanan tersebut disalahpahami atau dipolitisasi secara sempit. Dalam beberapa dekade terakhir, muncul kelompok-kelompok ekstremis yang menafsirkan Islam sebagai agama perlawanan dalam arti kekerasan mutlak terhadap siapa saja yang berbeda pandangan. Mereka mengabaikan dimensi keadilan, kasih sayang, dan toleransi yang juga merupakan inti ajaran Islam.

Penafsiran sempit ini melahirkan gerakan radikal yang justru merusak wajah Islam di mata dunia, serta mengorbankan masyarakat sipil yang seharusnya dilindungi. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun Islam memiliki tradisi panjang sebagai agama perlawanan terhadap penindasan, namun perlawanan tersebut harus dipahami secara proporsional dan kontekstual, agar tidak terjebak pada kekerasan destruktif yang bertentangan dengan tujuan Islam itu sendiri.

Islam sebagai agama perlawanan seharusnya dimaknai dalam kerangka pembelaan terhadap nilai-nilai universal yang dijunjung tinggi, yaitu keadilan, kemanusiaan, dan persaudaraan. Perlawanan yang dimaksud bukan sekadar melawan penguasa politik atau kekuatan asing, melainkan juga melawan segala bentuk kezaliman, termasuk korupsi, ketidakadilan ekonomi, diskriminasi gender, serta kerusakan lingkungan.

Dalam konteks global saat ini, perlawanan Islam dapat diartikan sebagai perjuangan melawan kapitalisme yang eksploitatif, melawan hegemoni budaya yang menindas identitas lokal, serta melawan sistem politik yang menutup ruang partisipasi rakyat. Perlawanan semacam ini tidak harus selalu berbentuk konfrontasi fisik, tetapi bisa diwujudkan dalam bentuk gerakan intelektual, sosial, dan kultural yang mengedepankan etika Islam.

Dimensi filosofis dari Islam sebagai agama perlawanan dapat ditemukan dalam konsep tauhid sebagai prinsip ontologis sekaligus etis. Tauhid tidak hanya menegaskan keesaan Tuhan, tetapi juga menegaskan kesetaraan manusia di hadapan-Nya. Kesetaraan ini mengandung implikasi sosial bahwa tidak ada manusia yang berhak menindas atau menguasai manusia lain secara absolut.

Setiap bentuk dominasi yang tidak adil, baik itu kolonialisme, tirani politik, maupun eksploitasi ekonomi, harus ditolak karena bertentangan dengan prinsip tauhid. Tauhid menjadi landasan teologis bagi perlawanan terhadap struktur yang menindas, sekaligus sumber kekuatan spiritual bagi umat Islam untuk terus berjuang menegakkan keadilan. Dalam kerangka inilah, Islam dapat dipahami sebagai agama perlawanan yang tidak hanya melawan ketidakadilan eksternal, tetapi juga perlawanan internal melawan hawa nafsu, keserakahan, dan kecenderungan zalim dalam diri manusia.

Islam sebagai agama perlawanan juga memiliki relevansi khusus dalam konteks Indonesia kontemporer. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan besar berupa ketidakadilan struktural, ketimpangan ekonomi, korupsi, dan berbagai bentuk diskriminasi. Dalam situasi ini, semangat Islam sebagai agama perlawanan dapat menjadi inspirasi moral dan spiritual bagi umat Islam untuk terlibat dalam perjuangan sosial yang damai, konstruktif, dan inklusif.

Perlawanan dalam arti ini dapat diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan masyarakat miskin, advokasi hak-hak buruh, perjuangan melawan korupsi, serta penguatan demokrasi. Islam dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar menyediakan kerangka normatif untuk mengkritik ketidakadilan sekaligus mendorong perubahan ke arah yang lebih baik.

Islam mengajarkan bahwa perlawanan tertinggi adalah perlawanan terhadap kebatilan dan ketidakadilan, dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Dalam dunia yang masih diwarnai ketimpangan dan penindasan, pesan perlawanan Islam tetap menjadi relevan, tetapi ia harus diwujudkan dalam bentuk yang kreatif, damai, dan transformatif. Islam sebagai agama perlawanan bukanlah ajakan untuk menciptakan kekacauan, melainkan seruan untuk menegakkan keadilan, membela yang lemah, dan membangun dunia yang lebih manusiawi.

Penulis: Suud Sarim Karimullah

Related Posts

Fenomena Mafia Hukum di Indonesia

Fenomena mafia hukum di Indonesia merupakan salah satu masalah paling kronis dan sistemik yang terus menggerogoti integritas negara hukum dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Istilah “mafia hukum” merujuk…

Isu HAM dalam Politik Indonesia

Isu hak asasi manusia dalam politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pergulatan antara norma hukum dan realitas kekuasaan yang kerap bersifat destruktif, sebab negara yang idealnya menjamin kebebasan warga negara…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You Missed

Fenomena Mafia Hukum di Indonesia

Fenomena Mafia Hukum di Indonesia

Isu HAM dalam Politik Indonesia

Isu HAM dalam Politik Indonesia

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global