Pertanyaan mengenai relevansi hukuman mati di Indonesia adalah isu yang kompleks, sensitif, dan selalu memicu perdebatan sengit baik di ranah akademik, politik, maupun moral. Hukuman mati, sebagai bentuk pidana paling berat, sejak lama menjadi bagian dari sistem hukum Indonesia, terutama untuk kasus-kasus yang dianggap sangat serius seperti narkotika, terorisme, dan pembunuhan berencana.
Namun, di tengah arus global yang semakin mengarah pada penghapusan hukuman mati, Indonesia menghadapi dilema: apakah hukuman ini masih relevan untuk dijalankan dalam konteks negara hukum demokratis yang menjunjung hak asasi manusia, ataukah sudah saatnya ditinjau kembali demi keselarasan dengan perkembangan hukum internasional dan kebutuhan reformasi hukum nasional?
Dari perspektif pendukung, hukuman mati dianggap masih relevan karena memiliki fungsi sebagai efek jera (deterrent effect). Argumennya, kejahatan luar biasa yang menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat, seperti peredaran narkotika yang merusak generasi, aksi terorisme yang mengancam kedaulatan negara, atau pembunuhan sadis membutuhkan hukuman setimpal yang menunjukkan ketegasan negara.
Hukuman mati di sini dipandang bukan hanya sebagai bentuk pembalasan terhadap pelaku, tetapi juga simbol perlindungan terhadap masyarakat luas. Dalam konteks Indonesia yang masih menghadapi ancaman besar dari sindikat narkoba dan terorisme, sebagian kalangan menilai penghapusan hukuman mati akan melemahkan posisi negara dalam menjaga ketertiban dan keamanan nasional.
Ada dimensi keadilan retributif yang menjadi landasan bagi pendukung hukuman mati. Mereka meyakini bahwa pelaku kejahatan yang secara brutal merampas hak hidup orang lain sudah selayaknya kehilangan hak hidupnya sebagai konsekuensi hukum. Dalam kerangka ini, hukuman mati dianggap sebagai keadilan yang seimbang, karena tanpa hukuman yang setimpal, penderitaan korban dan keluarganya tidak akan mendapatkan kepuasan moral.
Perspektif ini banyak dianut oleh masyarakat yang masih memegang kuat nilai keadilan retributif dalam hukum pidana. Namun, kritik terhadap hukuman mati tidak kalah kuat, bahkan semakin menguat dalam beberapa dekade terakhir. Dari sudut pandang hak asasi manusia, hukuman mati dipandang tidak lagi relevan karena bertentangan dengan hak hidup yang dijamin secara universal. Pasal 28A UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
Meskipun hak ini tidak bersifat absolut dalam praktik hukum, penerapan hukuman mati dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip dasar kemanusiaan yang justru seharusnya dijaga oleh negara. Banyak negara di dunia telah menghapuskan hukuman mati, baik secara de jure maupun de facto, dengan alasan bahwa negara modern harus mengedepankan rehabilitasi dan reintegrasi, bukan balas dendam.
Selain persoalan hak asasi, masalah besar dari hukuman mati adalah potensi kekeliruan hukum (miscarriage of justice). Sistem peradilan pidana di Indonesia, sebagaimana di banyak negara lain, tidak steril dari kelemahan seperti penyiksaan dalam proses penyidikan, korupsi, atau tekanan politik.
Dalam kondisi seperti ini, selalu ada kemungkinan bahwa seseorang yang tidak bersalah justru dijatuhi hukuman mati. Jika eksekusi sudah dilakukan, kesalahan itu tidak akan pernah bisa diperbaiki. Risiko ini membuat hukuman mati dianggap terlalu berbahaya untuk tetap dipertahankan dalam sistem hukum.
Efektivitas hukuman mati sebagai efek jera juga dipertanyakan. Berbagai penelitian di tingkat global menunjukkan bahwa keberadaan hukuman mati tidak secara signifikan menurunkan angka kejahatan serius.
Di Indonesia, meskipun hukuman mati dijatuhkan bagi bandar narkoba, peredaran narkotika tetap masif dan bahkan meningkat setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kejahatan tidak semata-mata bisa diselesaikan dengan ancaman hukuman berat, tetapi lebih terkait dengan akar persoalan sosial, ekonomi, dan lemahnya penegakan hukum.
Dari sudut pandang internasional, relevansi hukuman mati juga menghadapi tekanan. Sebagai anggota masyarakat dunia, Indonesia sering mendapatkan sorotan dari komunitas internasional setiap kali melaksanakan eksekusi mati, terutama terhadap warga negara asing dalam kasus narkotika. Hal ini berpotensi memengaruhi citra diplomasi Indonesia dan hubungan bilateral dengan negara-negara yang menganut abolisionisme (anti hukuman mati).
Di satu sisi, Indonesia ingin tampil sebagai negara demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, tetapi di sisi lain tetap mempertahankan praktik hukuman mati. Kontradiksi ini memunculkan dilema diplomatik sekaligus mengurangi konsistensi posisi Indonesia dalam forum internasional.
Dalam perdebatan relevansi hukuman mati, muncul juga gagasan kompromi berupa moratorium, yaitu penundaan eksekusi mati tanpa secara formal menghapus hukuman itu dari sistem hukum. Moratorium memungkinkan negara tetap menjaga posisi tegas terhadap kejahatan luar biasa, tetapi pada saat yang sama memberi ruang untuk evaluasi, rehabilitasi, atau perubahan kebijakan di masa depan.
Beberapa hakim di Indonesia juga mulai menjatuhkan vonis hukuman mati dengan masa percobaan, yang memungkinkan terpidana mengajukan pengurangan hukuman jika menunjukkan perilaku baik dalam kurun waktu tertentu. Pola ini mencerminkan adanya pergeseran pemikiran ke arah yang lebih humanis dan rehabilitatif.
Dengan demikian, pertanyaan apakah hukuman mati masih relevan di Indonesia tidak memiliki jawaban hitam putih. Hukuman mati masih dianggap relevan oleh sebagian kalangan sebagai bentuk ketegasan negara menghadapi kejahatan luar biasa, sekaligus cerminan keadilan retributif. Namun, dari perspektif hak asasi manusia, efektivitas penegakan hukum, risiko salah eksekusi, hingga tuntutan internasional, hukuman mati semakin kehilangan relevansinya dalam dunia modern.
Jika Indonesia ingin mempertahankan hukuman mati, maka reformasi besar dalam sistem peradilan pidana mutlak diperlukan agar jaminan keadilan lebih kuat, transparansi lebih terjaga, dan risiko kesalahan dapat diminimalisasi. Jika sebaliknya, Indonesia memilih menghapus hukuman mati, maka harus ada kebijakan alternatif yang mampu memberikan rasa keadilan bagi korban dan efek jera bagi pelaku, misalnya dengan hukuman seumur hidup tanpa remisi.
Relevansi hukuman mati bagi Indonesia sangat ditentukan oleh bagaimana bangsa ini memandang hubungan antara keadilan, kemanusiaan, dan keamanan. Apakah negara lebih memilih menegaskan kekuasaan melalui ancaman hukuman paling keras, ataukah ingin menunjukkan kedewasaan hukum dengan menekankan pada rehabilitasi dan penghormatan hak hidup? Pertanyaan ini masih terbuka, dan jawabannya akan sangat menentukan arah perkembangan hukum dan demokrasi Indonesia di masa depan.






