Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi Kritis

Hukum pidana dalam perspektif kriminologi kritis bukanlah sekadar aturan legal yang dipandang netral dan objektif sebagaimana klaim dari positivisme hukum, melainkan sebuah konstruksi sosial-politik yang merefleksikan relasi kuasa, dominasi, serta kepentingan kelas yang mendominasi masyarakat.

Kriminologi kritis berangkat dari premis bahwa hukum pidana tidak berdiri di ruang hampa; ia lahir, dijalankan, dan ditafsirkan dalam konteks struktur sosial yang sarat dengan ketidaksetaraan. Oleh karena itu, analisis hukum pidana tidak bisa hanya berhenti pada teks normatif undang-undang, melainkan harus menelisik lebih jauh ke akar-akar sosial, ekonomi, politik, bahkan ideologis yang membentuk bagaimana suatu perbuatan didefinisikan sebagai kejahatan dan bagaimana pelakunya diperlakukan dalam sistem peradilan pidana.

Dalam kerangka ini, kejahatan bukan lagi dipahami semata sebagai pelanggaran terhadap aturan hukum tertulis, melainkan sebagai hasil konstruksi sosial. Negara dan kelompok dominan memiliki kekuasaan untuk mendefinisikan apa yang dianggap kriminal dan siapa yang berhak disebut kriminal.

Perspektif kriminologi kritis menyingkap bahwa definisi ini seringkali bersifat selektif dan cenderung mengkriminalisasi kelompok-kelompok marjinal sambil membiarkan praktik berbahaya yang dilakukan oleh kelompok elit tetap berada di luar jangkauan hukum pidana.

Fenomena seperti kriminalisasi kemiskinan, pemidanaan terhadap gelandangan atau pengamen jalanan, hingga penindakan keras terhadap pencurian kecil kontras dengan sikap lunak terhadap kejahatan kerah putih atau pelanggaran lingkungan oleh korporasi. Hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana berfungsi lebih sebagai instrumen kontrol sosial yang melestarikan status quo daripada instrumen keadilan universal.

Salah satu dimensi penting yang disoroti kriminologi kritis adalah bagaimana hukum pidana beroperasi dalam kerangka ideologi hegemonik. Antonio Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni bekerja bukan hanya melalui paksaan fisik, tetapi juga melalui internalisasi nilai-nilai yang membuat masyarakat menerima dominasi sebagai sesuatu yang wajar.

Hukum pidana sering tampil sebagai alat legitimasi moral, yang membuat publik percaya bahwa mereka dilindungi dari kejahatan, padahal pada kenyataannya hukum pidana lebih banyak diarahkan untuk mengendalikan kelompok yang lemah. Dengan kata lain, hukum pidana memproduksi dan mereproduksi stigma sosial terhadap kelompok tertentu, seperti orang miskin, migran, atau komunitas minoritas, sehingga mereka terus-menerus berada dalam posisi yang rentan.

Perspektif ini juga mengkritik mitos netralitas aparat penegak hukum. Polisi, jaksa, dan hakim bukanlah entitas yang steril dari kepentingan politik dan ekonomi. Penentuan prioritas penegakan hukum sering kali dipengaruhi oleh tekanan politik, media, bahkan kepentingan ekonomi tertentu.

Praktik selektivitas penegakan hukum menjadi bukti nyata: demonstran atau aktivis yang menentang kebijakan pemerintah lebih mudah dikenai pasal pidana seperti “perbuatan tidak menyenangkan” atau “ujaran kebencian,” sementara pelaku korupsi kelas kakap bisa mendapatkan perlakuan istimewa melalui berbagai celah hukum.

Kriminologi kritis juga mempersoalkan hubungan erat antara hukum pidana dengan kapitalisme. Dalam masyarakat kapitalis, hukum pidana cenderung berfungsi untuk melindungi kepemilikan privat dan menjaga kelangsungan sistem produksi kapitalis.

Tindakan yang mengancam kepemilikan individu atau stabilitas pasar segera didefinisikan sebagai kejahatan serius, sementara eksploitasi tenaga kerja, monopoli, atau kerusakan lingkungan yang masif akibat korporasi seringkali dipandang sebagai bagian dari mekanisme pasar yang sah. Hal ini mencerminkan apa yang disebut sebagai selective criminalization, yaitu pemilihan siapa yang dipidana bukan berdasarkan derajat bahayanya, tetapi berdasarkan posisi sosial ekonomi pelaku. Hukum pidana dalam konteks ini beroperasi sebagai “penjaga gerbang” kepentingan kapitalisme, memastikan bahwa potensi disrupsi dari kelompok bawah dapat ditekan melalui stigmatisasi dan penalitas.

Penjara, yang diklaim sebagai sarana rehabilitasi, dalam banyak kasus berubah menjadi sekolah kejahatan yang memperkuat identitas kriminal. Kondisi penjara yang penuh sesak, tidak manusiawi, serta minim akses pendidikan dan pekerjaan membuat narapidana keluar dengan peluang lebih besar untuk kembali melakukan tindak pidana.

Alih-alih menyelesaikan akar masalah kejahatan, sistem pidana hanya mengelola gejala permukaan sambil mempertahankan ilusi bahwa negara sedang melindungi masyarakat. Pandangan kritis ini sejalan dengan pemikiran Michel Foucault yang melihat penjara bukan sebagai sarana koreksi, tetapi sebagai instrumen disiplin yang menyebarkan kekuasaan negara ke tubuh dan perilaku individu.

Selain itu, kriminologi kritis menolak pandangan deterministik bahwa pelaku kejahatan semata-mata individu yang bermoral rusak. Sebaliknya, perilaku kriminal sering kali merupakan respons terhadap kondisi struktural seperti kemiskinan, ketidakadilan, pengangguran, atau diskriminasi. Dengan demikian, fokus solusi seharusnya bukan hanya pada penghukuman, tetapi pada transformasi sosial yang lebih luas.

Perspektif ini menuntut adanya pendekatan alternatif di luar hukum pidana, seperti kebijakan sosial yang menanggulangi ketimpangan, pemberdayaan komunitas, atau program restoratif yang menekankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Restorative justice, misalnya, menjadi salah satu model yang diusung untuk menggeser paradigma retributif ke arah yang lebih humanis dan inklusif. Namun demikian, gagasan kriminologi kritis tidak lepas dari tantangan.

Kritik paling umum adalah tuduhan bahwa perspektif ini terlalu politis dan cenderung mengabaikan peran hukum pidana dalam melindungi masyarakat dari ancaman nyata seperti pembunuhan, pemerkosaan, atau terorisme. Akan tetapi, kriminologi kritis justru tidak menolak perlunya hukum pidana, melainkan menuntut refleksi kritis tentang bagaimana hukum itu didefinisikan, diterapkan, dan dimanipulasi dalam konteks sosial tertentu.

Fokus utamanya adalah membuka ruang kesadaran bahwa hukum pidana bukan entitas yang netral, sehingga penggunaannya harus terus-menerus diawasi agar tidak menjadi alat represi yang sah secara hukum namun tidak adil secara moral.

Dalam konteks Indonesia, perspektif kriminologi kritis sangat relevan untuk membaca berbagai fenomena hukum kontemporer. Misalnya, penggunaan pasal-pasal karet dalam UU ITE yang kerap menjerat warga biasa, aktivis, atau jurnalis karena kritik terhadap pemerintah, menunjukkan bagaimana hukum pidana bisa berfungsi sebagai alat pembungkaman.

Sementara itu, kasus-kasus besar yang melibatkan korporasi dalam perusakan lingkungan atau pengemplangan pajak sering berakhir dengan hukuman ringan atau penyelesaian administratif. Ketimpangan ini memperlihatkan bagaimana hukum pidana di Indonesia masih bias kelas, sekaligus meneguhkan kritik bahwa sistem hukum lebih berpihak pada pemilik modal daripada pada keadilan sosial.

Perspektif kriminologi kritis menantang kita untuk melihat hukum pidana bukan sebagai dogma yang sakral, melainkan sebagai arena pertarungan ideologi dan kepentingan. Analisis hukum pidana melalui lensa kritis mendorong pemikiran progresif bahwa mungkin keadilan sejati tidak bisa sepenuhnya dicapai melalui hukum pidana yang ada, melainkan memerlukan transformasi sosial yang lebih mendasar.

Pertanyaan-pertanyaan progresif pun muncul: apakah kejahatan bisa benar-benar diberantas dalam sistem yang tetap mempertahankan ketidaksetaraan struktural? Apakah penjara masih relevan di era modern, atau justru perlu digantikan oleh model keadilan yang lebih restoratif? Apakah hukum pidana masih bisa dipercaya sebagai instrumen keadilan, atau ia hanyalah topeng legal bagi kepentingan politik-ekonomi yang dominan?

Merefleksikan pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita pada kesimpulan bahwa hukum pidana dalam perspektif kriminologi kritis bukanlah jawaban final atas masalah kejahatan, melainkan problematisasi itu sendiri. Ia menuntut agar setiap klaim keadilan dalam hukum pidana selalu diuji terhadap realitas ketimpangan sosial yang ada.

Hanya dengan cara demikian, hukum pidana dapat di transformasikan dari instrumen represi menjadi instrumen emansipasi, dari mekanisme kontrol menjadi mekanisme pembebasan. Namun, jalan menuju transformasi itu bukanlah perkara mudah, karena menuntut keberanian politik, perubahan budaya hukum, serta kesediaan untuk menggeser paradigma dari menghukum ke memulihkan, dari mengontrol ke memberdayakan.

Related Posts

Isu HAM dalam Politik Indonesia

Isu hak asasi manusia dalam politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pergulatan antara norma hukum dan realitas kekuasaan yang kerap bersifat destruktif, sebab negara yang idealnya menjamin kebebasan warga negara…

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Perlindungan hukum untuk pekerja migran Indonesia merupakan isu yang memiliki dimensi sosial, ekonomi, dan politik yang sangat kompleks, karena menyangkut jutaan warga negara yang menggantungkan hidupnya di luar negeri dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You Missed

Isu HAM dalam Politik Indonesia

Isu HAM dalam Politik Indonesia

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital