Perlawanan yang menggetarkan langit dan bumi bukanlah sekadar metafora tentang keberanian melawan penindasan, melainkan suatu realitas historis, spiritual, dan eksistensial yang lahir dari denyut nadi manusia-manusia yang berani mempertaruhkan hidupnya demi sebuah cita-cita agung.
Sejarah umat manusia sarat dengan kisah-kisah perlawanan yang menggetarkan jagat raya, di mana bumi berguncang karena darah dan langkah para pejuang, sementara langit seakan turut menyaksikan dan merekam sumpah serta air mata mereka. Perlawanan ini bukanlah semata-mata tentang senjata, strategi, dan peperangan fisik, tetapi lebih dalam, ia adalah pertarungan jiwa, keyakinan, dan simbol-simbol transendental yang menjadikan pengorbanan sebagai tanda kehidupan abadi.
Dalam tradisi Islam, perlawanan semacam ini tercermin dengan sangat jelas dalam perjuangan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Perlawanan di Makkah, ketika kaum muslimin masih minoritas dan menghadapi tekanan Quraisy, adalah perlawanan spiritual yang menuntut kesabaran luar biasa.
Bilal bin Rabah, budak berkulit hitam yang disiksa di padang pasir dengan batu besar di dadanya, menjadikan kalimat “Ahad, Ahad” sebagai pekikan perlawanan yang menggetarkan bukan hanya tanah Arab, tetapi juga langit yang menyaksikan keteguhan imannya. Bilal tidak memiliki senjata, namun suaranya yang tak gentar adalah gemuruh perlawanan yang melampaui batas fisik. Dari titik ini, perlawanan bukan hanya berarti menumpahkan darah, tetapi juga menegakkan kebenaran dalam kondisi paling sulit sekalipun.
Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, bentuk perlawanan itu berubah menjadi kekuatan politik, sosial, dan militer. Perang Badar menjadi simbol monumental bagaimana pasukan kecil yang lemah dalam persenjataan mampu mengalahkan pasukan Quraisy yang jauh lebih besar. Namun inti kemenangan itu bukan semata strategi, melainkan keyakinan yang tertanam dalam jiwa para pejuang.
Ali bin Abi Thalib, dengan keberaniannya di medan perang, Hamzah bin Abdul Muthalib dengan ketegasannya, dan para sahabat lainnya, menunjukkan bahwa perlawanan bukanlah tindakan individual melainkan energi kolektif yang diikat oleh iman. Kemenangan Badar mengguncang struktur kekuasaan Quraisy di bumi, sementara gema takbir para pejuang menggetarkan langit seolah menjadi saksi peristiwa agung tersebut.
Perlawanan juga terlihat dalam tragedi Karbala, ketika cucu Rasulullah, Imam Husain bin Ali, berdiri melawan tirani Yazid. Dengan pasukan kecil yang hanya terdiri dari keluarga dan sahabat dekat, Husain tahu bahwa ia tidak akan memenangkan pertempuran secara militer. Namun ia memilih untuk mati terhormat daripada hidup tunduk pada kezaliman.
Seruan “Hal min nashirin yanshuruna?” yang ia kumandangkan di padang Karbala bukanlah sekadar permintaan bantuan, melainkan gema perlawanan yang menembus ruang dan waktu. Tubuhnya yang dipenuhi luka dan darah yang membasahi tanah Karbala adalah tanda bahwa bumi pun turut merasakan penderitaan itu.
Langit seolah berduka dengan merahnya matahari, sementara bumi merekam tragedi itu sebagai pesan abadi tentang harga sebuah kebenaran. Hingga kini, Karbala tetap menjadi simbol perlawanan yang menggetarkan langit dan bumi, menginspirasi umat manusia melawan segala bentuk tirani.
Dalam sejarah Islam terdapat pula tokoh seperti Umar bin Khattab, yang dengan ketegasan dan keberanian moralnya menggetarkan musuh-musuh Islam. Ketika ia masuk Islam, keberadaannya membawa gelombang keberanian yang membuat kaum muslimin berani menampakkan identitasnya di muka umum.
Umar adalah simbol perlawanan struktural, bahwa kekuatan iman dapat menundukkan kekuasaan politik yang menindas. Begitu pula Khalid bin Walid, sang “Pedang Allah” yang memenangkan banyak pertempuran besar, menunjukkan bahwa perlawanan yang terorganisir dengan keyakinan dapat mengubah peta sejarah bangsa-bangsa.
Jika kita menengok sejarah umat manusia yang lebih luas, perlawanan semacam ini juga dapat ditemukan dalam berbagai konteks di luar dunia Islam. Perlawanan Mahatma Gandhi melawan kolonialisme Inggris di India, meski tanpa kekerasan fisik, justru menggetarkan langit dan bumi karena ia mengubah paradigma perlawanan itu sendiri. Dengan senjata satyagraha—kekuatan kebenaran dan non-kekerasan—ia mempermalukan imperium besar dan menggerakkan jutaan orang untuk menuntut kemerdekaan.
Dunia menjadi saksi bagaimana kekuatan moral dapat lebih menggetarkan daripada meriam dan peluru. Langit mencatat pekikan rakyat India yang lapar dan menderita, sementara bumi menjadi saksi langkah kaki panjang mereka dalam pawai garam yang legendaris.
Dalam tradisi dunia Barat, perlawanan Spartacus melawan kekaisaran Romawi menjadi simbol lain. Meski akhirnya ia kalah dan mati di medan perang, keberaniannya menggerakkan budak-budak untuk melawan penindasan adalah perlawanan yang mengguncang struktur sosial dunia Romawi. Demikian pula perlawanan Nelson Mandela di Afrika Selatan melawan apartheid adalah kisah bagaimana bumi menyaksikan penderitaan jutaan rakyat kulit hitam, dan langit menggemakan doa mereka hingga akhirnya ketidakadilan runtuh.
Namun perlawanan yang menggetarkan langit dan bumi sejatinya bukan hanya tentang kemenangan fisik. Ia juga menyangkut dimensi simbolis dan spiritual. Martin Luther King Jr. dengan seruannya “I Have a Dream” mampu menggerakkan hati nurani bangsa Amerika, dan gaung pidatonya hingga kini masih terasa sebagai perlawanan moral terhadap diskriminasi rasial. Suara itu melampaui batas ruang, menjangkau generasi-generasi setelahnya, menggetarkan bumi tempat ketidakadilan berpijak, dan langit yang menyaksikan doa-doa harapan akan kesetaraan.
Dalam konteks kontemporer, perlawanan rakyat Palestina melawan penjajahan modern menjadi contoh nyata bagaimana perlawanan yang tampak kecil mampu menggetarkan dunia. Batu yang dilemparkan seorang anak kecil melawan tank adalah simbol yang jauh lebih dahsyat dari senjata canggih. Dunia mendengar jeritan itu, dan langit seolah menyimpan doa-doa mereka.
Tokoh-tokoh seperti Syekh Ahmad Yassin, meski tubuhnya lemah dan lumpuh, mampu menggerakkan ribuan orang untuk melawan. Darah para syuhada Palestina mengingatkan kita pada Karbala, bahwa perlawanan bukan selalu tentang kemenangan di dunia, melainkan tentang kesetiaan pada prinsip dan kebenaran.
Yang menjadikan perlawanan itu menggetarkan langit dan bumi adalah keterhubungan antara dimensi manusiawi dan transendental. Perlawanan itu lahir dari luka, penderitaan, dan ketidakadilan yang dirasakan di bumi, namun juga bertumpu pada harapan, doa, dan iman yang menggema ke langit. Inilah yang membuat perlawanan itu tidak pernah padam, meski tubuh para pejuang hancur, meski darah mereka tumpah, namun semangat mereka tetap hidup.
Keadilan sejati selalu lahir dari keberanian melawan tirani, betapapun kecil atau lemahnya seorang manusia. Ia adalah narasi kolektif umat manusia yang menolak tunduk pada penindasan, sebuah simfoni universal yang diperdengarkan oleh para tokoh sepanjang zaman. Langit mendengar doa mereka, bumi merekam langkah mereka, dan sejarah menulis nama mereka dengan tinta darah dan keberanian.
Perlawanan ini tidak hanya menggetarkan langit dan bumi, tetapi juga menggetarkan hati manusia, membuka nurani, dan membangunkan kesadaran bahwa kehidupan yang sejati hanya bisa dibangun di atas fondasi kebenaran, keadilan, dan pengorbanan.
Penulis: Suud Sarim Karimullah







