Peran Pendidikan Agama dalam Membentuk Toleransi

Pendidikan agama di Indonesia selalu menempati posisi yang strategis dalam diskursus tentang pembangunan manusia dan masyarakat. Sebagai bangsa yang berdiri di atas fondasi keberagaman suku, bahasa, budaya, dan agama, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk menjaga persatuan di tengah pluralitas tersebut.

Pendidikan agama, yang pada dasarnya dimaksudkan untuk membentuk akhlak mulia, pemahaman spiritual, dan kesadaran transendental, sering kali dipertanyakan relevansinya dalam membentuk toleransi. Pertanyaan ini sekaligus kompleks, karena dalam kenyataan sosial, agama di satu sisi bisa menjadi sumber inspirasi perdamaian, tetapi di sisi lain juga dapat dimanipulasi menjadi alasan konflik dan intoleransi. Oleh sebab itu, peran pendidikan agama dalam membentuk toleransi harus dilihat bukan semata dari sisi normatif, melainkan juga dari cara ia diinstitusikan, dipraktikkan, dan dikontekstualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada tataran normatif, semua agama mengajarkan nilai-nilai toleransi, kasih sayang, dan penghormatan terhadap sesama manusia. Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal, bukan saling meniadakan. Injil mengajarkan cinta kasih yang universal, sementara ajaran agama-agama lain seperti Hindu, Buddha, dan Konghucu juga menekankan pada harmoni, welas asih, dan keteraturan kosmik. Namun, nilai-nilai luhur tersebut tidak serta-merta otomatis terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Proses internalisasi sangat ditentukan oleh bagaimana pendidikan agama dilaksanakan di sekolah, keluarga, maupun ruang publik. Jika pendidikan agama hanya diajarkan sebatas dogma dan ritual, maka potensi transformasi nilai toleransi akan sangat terbatas. Sebaliknya, jika ia diajarkan dengan pendekatan dialogis, kontekstual, dan kritis, maka pendidikan agama dapat menjadi instrumen ampuh untuk membentuk sikap inklusif dan saling menghargai.

Di Indonesia, pendidikan agama formal sering kali masih berfokus pada pengajaran dogmatis yang cenderung menekankan klaim kebenaran eksklusif. Dalam banyak kasus, siswa diajarkan untuk memahami agamanya sendiri secara mendalam, tetapi minim kesempatan untuk mempelajari keberagaman keyakinan lain. Padahal, pembentukan toleransi tidak cukup dengan memperkuat identitas keagamaan pribadi, melainkan juga membutuhkan kemampuan untuk mengapresiasi, memahami, dan berdialog dengan keyakinan yang berbeda.

Ketika pendidikan agama mengabaikan aspek ini, yang muncul justru potensi eksklusivisme dan sikap defensif terhadap perbedaan. Kondisi ini menjelaskan mengapa dalam masyarakat yang religius sekalipun, praktik intoleransi tetap sering muncul, karena pengetahuan agama yang diperoleh tidak mengajarkan bagaimana hidup berdampingan dalam keragaman.

Pendidikan agama di sekolah sering kali terjebak pada format evaluasi kognitif yang sempit. Ujian agama biasanya mengukur hafalan ayat, doa, atau definisi doktrin, tetapi jarang menyentuh aspek afektif dan praksis. Akibatnya, siswa bisa mendapatkan nilai tinggi dalam pelajaran agama, tetapi tetap menunjukkan sikap intoleran dalam kehidupan sosial.

Fenomena ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara pengetahuan agama dengan internalisasi nilai-nilai agama. Padahal, pendidikan agama yang sejati seharusnya melahirkan individu yang tidak hanya taat secara ritual, tetapi juga berakhlak mulia dalam hubungan sosial. Dalam konteks ini, pendidikan agama yang gagal menanamkan toleransi justru berisiko melahirkan generasi yang religius secara simbolis, tetapi eksklusif secara sosial. Namun, potensi positif pendidikan agama tidak boleh direduksi oleh kelemahan praktiknya.

Jika dilaksanakan dengan benar, pendidikan agama dapat menjadi wahana penting untuk menumbuhkan kesadaran pluralisme. Pendidikan agama bisa mengajarkan bahwa perbedaan keyakinan bukan ancaman, melainkan bagian alami dari realitas sosial yang harus dihargai. Ia juga bisa menanamkan empati lintas iman dengan menunjukkan bahwa semua manusia, terlepas dari agama mereka, memiliki martabat yang sama. Hal ini sangat relevan bagi Indonesia, yang sering diwarnai ketegangan antarumat beragama.

Dalam praktiknya, peran guru agama sangat menentukan keberhasilan pendidikan agama dalam membentuk toleransi. Guru yang eksklusif dan berpandangan sempit cenderung menularkan sikap intoleran kepada siswa. Sebaliknya, guru yang terbuka dan memahami keragaman dapat menciptakan suasana belajar yang kondusif bagi tumbuhnya sikap inklusif. Oleh karena itu, pelatihan guru agama yang menekankan moderasi beragama dan pendidikan multikultural sangat penting.

Guru tidak cukup hanya menguasai dogma agama, tetapi juga harus mampu menjembatani siswa dengan realitas keragaman masyarakat. Dalam hal ini, guru agama sekaligus menjadi agen perdamaian yang menanamkan kesadaran kebangsaan sekaligus kesadaran spiritual.

Selain peran guru, kurikulum pendidikan agama juga harus dirancang untuk menumbuhkan toleransi. Kurikulum sebaiknya tidak hanya berfokus pada penguatan iman pribadi, tetapi juga memasukkan materi tentang sejarah agama-agama, dialog antaragama, serta isu-isu kontemporer terkait keragaman.

Materi tentang konflik agama di dunia, misalnya, bisa dijadikan studi kasus untuk menunjukkan betapa pentingnya toleransi dalam menjaga perdamaian. Dengan demikian, siswa tidak hanya diajak memahami ajaran agamanya sendiri, tetapi juga dilatih untuk berpikir kritis, reflektif, dan menghargai perbedaan. Kurikulum semacam ini akan membentuk generasi yang religius sekaligus demokratis, yang mampu memadukan kesetiaan terhadap iman dengan penghormatan terhadap keragaman.

Pendidikan agama juga harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu keluarga dan masyarakat. Keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak dalam mengenal nilai agama. Jika keluarga menanamkan sikap eksklusif dan intoleran, maka pendidikan agama di sekolah akan sulit mengoreksi hal itu.

Sebaliknya, jika keluarga membiasakan anak untuk menghargai perbedaan sejak kecil, maka sekolah akan lebih mudah memperkuat nilai toleransi. Demikian pula, masyarakat yang penuh ujaran kebencian dan diskriminasi akan melemahkan pendidikan agama yang diajarkan secara inklusif. Oleh karena itu, pendidikan agama untuk toleransi harus dilihat sebagai tanggung jawab kolektif, bukan hanya beban sekolah atau guru.

Dalam dimensi politik, peran pendidikan agama dalam membentuk toleransi menjadi semakin krusial. Politik identitas yang sering menginstrumentalisasi agama telah menciptakan polarisasi tajam dalam masyarakat. Kampanye politik yang membenturkan umat beragama tidak hanya merusak kohesi sosial, tetapi juga menodai nilai-nilai agama itu sendiri.

Pendidikan agama yang inklusif dapat menjadi penangkal ideologisasi sempit ini dengan menegaskan bahwa agama bukan alat politik, melainkan sumber moralitas universal yang melampaui sekat kepentingan politik. Jika pendidikan agama mampu membentuk kesadaran kritis siswa terhadap manipulasi agama dalam politik, maka ia bisa berperan sebagai benteng terhadap radikalisasi dan intoleransi politik.

Tidak dapat dipungkiri, pendidikan agama yang menekankan toleransi juga menghadapi tantangan serius. Tantangan terbesar adalah resistensi dari sebagian kelompok yang masih berpandangan bahwa penguatan toleransi sama dengan melemahkan identitas keagamaan. Paradigma ini salah kaprah, karena toleransi bukan berarti mengaburkan keyakinan, melainkan sikap untuk tetap teguh pada iman sambil menghormati iman orang lain.

Pendidikan agama yang toleran justru memperkuat iman, karena ia mengajarkan bahwa keyakinan yang sejati tidak membutuhkan permusuhan terhadap yang berbeda. Tantangan lain adalah penyebaran paham ekstremis melalui media sosial yang sering lebih efektif menjangkau anak muda dibandingkan pendidikan formal. Untuk menghadapi ini, pendidikan agama harus adaptif dengan zaman, memanfaatkan media digital, dan menyebarkan narasi toleransi dengan cara yang kreatif dan relevan.

Pendidikan agama juga harus berani keluar dari zona nyaman dengan melibatkan pengalaman langsung dalam keragaman. Program pertukaran antar sekolah berbasis agama berbeda, kunjungan lintas iman, atau dialog antar siswa dari latar belakang berbeda dapat menjadi pengalaman berharga yang memperkuat sikap toleran. Pengalaman langsung ini jauh lebih efektif daripada sekadar teori, karena siswa belajar bahwa orang dari agama lain bukanlah ancaman, melainkan sesama manusia yang memiliki kesamaan aspirasi hidup.

Dalam kerangka filsafat pendidikan, peran pendidikan agama dalam membentuk toleransi dapat dipahami sebagai upaya mengintegrasikan dimensi kognitif, afektif, dan konatif manusia. Pendidikan agama tidak cukup hanya membentuk pengetahuan teologis, tetapi juga harus menumbuhkan sikap emosional yang empatik serta kemauan untuk bertindak toleran dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang disebut sebagai pendidikan holistik, yang tidak memisahkan antara iman, akal, dan moralitas sosial.

Jika dimensi ini bisa diintegrasikan, maka pendidikan agama akan menjadi sarana efektif untuk membangun manusia yang tidak hanya beragama, tetapi juga berperikemanusiaan. Oleh karena itu, menjawab pertanyaan tentang peran pendidikan agama dalam membentuk toleransi berarti menggugat praktik pendidikan agama yang ada sekarang.

Selama pendidikan agama hanya diperlakukan sebagai ritual formalitas dengan penilaian berbasis ujian kognitif, maka ia tidak akan banyak berkontribusi terhadap toleransi. Namun, jika pendidikan agama direformasi menjadi instrumen dialog, refleksi, dan penguatan empati, maka ia akan menjadi kekuatan besar dalam membangun kohesi sosial. Pendidikan agama yang toleran bukan hanya kebutuhan moral, tetapi juga kebutuhan politik, karena tanpa toleransi, demokrasi Indonesia akan rapuh di tengah pluralitasnya.

Pendidikan agama memiliki peran yang sangat vital dan kompleks dalam membentuk toleransi. Ia bisa menjadi sumber harmoni sekaligus sumber konflik, tergantung pada bagaimana ia diajarkan dan dipraktikkan. Pendidikan agama yang inklusif, dialogis, dan kontekstual adalah kunci untuk memastikan bahwa generasi muda Indonesia tumbuh sebagai individu yang religius sekaligus menghargai perbedaan.

Tantangan memang besar, mulai dari resistensi kultural, manipulasi politik, hingga penetrasi paham ekstremis. Namun, justru dalam tantangan inilah terletak urgensi reformasi pendidikan agama. Jika berhasil, pendidikan agama akan menjadi fondasi kokoh bagi Indonesia yang damai, adil, dan beradab. Jika gagal, maka agama akan terus dipolitisasi dan intoleransi akan semakin mengakar. Pertaruhan masa depan bangsa sesungguhnya sangat ditentukan oleh bagaimana kita mendidik generasi muda melalui agama, apakah untuk memperkuat sekat ataukah untuk membangun jembatan kemanusiaan yang lebih luas.

Related Posts

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Perlindungan hukum untuk pekerja migran Indonesia merupakan isu yang memiliki dimensi sosial, ekonomi, dan politik yang sangat kompleks, karena menyangkut jutaan warga negara yang menggantungkan hidupnya di luar negeri dan…

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa depan pers di tengah tekanan politik merupakan topik yang semakin krusial dalam konteks demokrasi Indonesia yang sedang mengalami dinamika kompleks antara kebebasan berekspresi, kekuatan ekonomi-politik, dan transformasi digital yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You Missed

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital

Media Sosial sebagai Arena Pertarungan Politik di Indonesia

Media Sosial sebagai Arena Pertarungan Politik di Indonesia