
“Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia berikan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. al-Jumu’ah [62]: 8).
Setiap manusia tidak akan paham mengenai suatu esensi dari kehidupan apabila ia tidak mau mengingat arti dari esensi suatu kematian. Dengan mengingat kematian maka manusia akan bijak dan berhati-hati dalam menjalankan kehidupan dunia dengan tetap meningkatkan rasa keimanan dan ketakwaan kepada Sang Maha Pencipta. Kematian dianggap sebagai ketiadaan, namun menurut M. Quraish Shihab mengatakan bahwa kematian kelihatan seperti kepunahan dari seorang manusia akan tetapi pada esensinya kematian merupakan kelahiran baru bagi manusia.
Kematian yang dialami oleh manusia itu berbeda-benda sebabnya, seperti ada yang mati karena sudah tutup usia, mati karena sakit, mati karena jatuh dari pesawat, mati karena tenggelam, mati karena tambrakan, mati karena peperangan, dan mati karena berbagai sebab yang lain.
Persoalan kematian sebenarnya merupakan persoalan materi dan bukan pada persoalan ruh karena ruh yang membuat suatu materi tersebut bisa hidup. Tanpa adanya ruh semua materi akan menjadi mati. Antara mati dan tidur sama-sama satu jenis yang sama, menurut Fakhr al-Din al-Razi. Al-Razi menjelaskan bahwa tidur itu terputusnya ruh secara tidak sempurna sedangkan mati terputusnya ruh secara sempurna. Ia juga mengatakan bahwa ruh diibaratkan sebagai intan yang bercahaya, dan ketika dalam keadaan tidur maka putuslah cahaya tersebut, akan tetapi cahaya tersebut akan kembali bersinar ketika seseorang terbangun dari tidurnya kembali.
Pada kajian tasawuf, kematian itu belum tentu berarti kematian pada fisik saja. Bisa juga seorang manusia dapat dikatakan telah mati walaupun pada kenyataanya, jasadnya masih hidup. Seorang manusia dapat dikatakan telah mati jikalau seorang tersebut telah kehilangan sifat-sifat kemanusiannya dan itulah yang disebut dengan kematian hati dalam dunia tasawuf.
Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui dengan jelas tentang ajal orang lain atau dirinya sendiri. Manusia hanya diperintahkan untuk melalu menjaga diri dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Kematian datang kepada setiap manusia tanpa diketahui sebelumnya oleh siapapun karena hal tersebut merupakan ketentuan dan kepastian dari Sang Maha Pencipta.
Seorang filosof dari barat, yaitu Jean Paul Sartre (1905-1980) menjelaskan bahwa kematian sebagai bagian integral dari kehidupan manusia. Kehidupan tidak bertolak dari kematian, akan tetapi kematian bertolak dari kehidupan. Kematian merupakan sebuah kenyataan yang menimpa terhadap manusia dengan secara tiba-tiba dan membabi buta sehingga manusia tidak mampu memahami dan mengontrol suatu kematian. Kematian adalah suatu peristiwa yang datang secara mendadak dan tidak diharapkan kehadirannya, tidak bisa juga dapat diprediksi dan selalu tiba-tiba datang dengan mengejutkan bahkan bagi seorang yang telah menantikannya seperti suatu hal yang pasti akan terjadi. Kematian datang tanpa pemberitahuan sebelumnya dan tidak bisa diperkirakan waktunya dengan pasti. Kematian secara kejam menerobos dan menusuk dalam kehidupan manusia yang sedang merencanakan hidup selanjutnya dan berusaha mewujudkan kemungkinan-kemungkinannya.
Kematian tidak bisa ditunda dan di mundurkan karena hal tersebut merupakan kehendak dari Sang Maha Pecipta untuk meminta berbagai pertanggung jawaban atas segala perbuatan yang telah dilakukan oleh setiap manusia sehingga dengan amal perbuatan yang baik manusia dapat merasakan kenikmatan surga dan kesengsaraan bagi manusia yang melakukan perbuatan keburukan dan dosa maka ia akan merasakan pedihnya siksa dan panasnya api neraka.
Banyak manusia yang takut akan kematian yang pada esensinya kematian merupakan non-eksitensi reaktif. Dengan kata lain, non-eksistensi di tahap lain. Kematian secara mutlak tidak akan menimpa manusia, melainkan kematian hanya hilangnya suatu kondisi tertentu dan akan beralih kekondisi yang lainnya. Terdapat penjelasan dan keterangan bahwa sebuah kematian sebagai bentuk penyucian diri dari kotoran yang meliputi perbuatan dosa dan keburukan.
Manusia memiliki berbagai angan-angan yang tak dapat di bendung dengan harapan akan keabadian, dan mengiginkan sesuatu yang sangat spritual, namun semuanya tak tercapai ketika manusia masih berada di dunia dan jiwa masih terkungkung oleh raga yang material. Maka hal tersebut, menjadikan sebuah bukti akan adanya suatu kehidupan yang abadi. Kematian bukannlah akhir eksistensi dan bukan pula sebuah kehilangan akan tetapi penemuan kembali tentang realitas kehidupan yang sesungguhnya.
Al-Quran menyingung tentang kematian yang terdapat dibeberapa ayat dan surah, antara lain; (QS. al-Baqarah [2]: 19, 28, 98, 95, 132, 161, 180, dan 243), (QS. Ali Imran [3]: 102, 145, 168, dan 185), (QS. an-Nisa’ [4]: 78), (QS. al-An’am [6]: 2, 61, 98, dan 122), (QS. Muhammad [47]: 20 dan 27), (QS. al-Anbiya’ [21]: 34-35), (QS. al-Mu’minun [23]: 15, 99, dan 100), (QS. al-Ankabut [29]: 57), (QS. as-Sajadah [32]: 11), (QS. Al-Ahzab [33]: 100), (QS. Ad-Dukhan [44]: 34-35), (QS. al-Waqiah [56]: 60), (QS. al-Jumu’ah [62]: 7-8), (QS. al-Munafiqun [62]: 10-11), dan (QS. al-Haqqah [69]: 27).
Diciptakannya kematian oleh Allah Swt sebagai akhir yang pasti bagi sebuah kehidupan. Tidak ada seorangpun yang dapat menghindar dari kematian dan tidak ada harta benda serta apapun yang dapat menjamin keselamatan seseorang dari kematian. Karena Allah membuka hati orang yang banyak mengingat kematian dengan memudahkan kematian baginya. Dalam pemikiran Syaikh Siti Jenar menjelaskan bahwa dunia adalah alam kematian. Alam kubur adalah dunia dan sebuah terali besi yang merupakan raganya untuk menahan setiap jiwa yang berada di dunia dan merasakan kesusahan hidup, seperti rasa lapar, rasa sakit, penderitaan dan lain sebagainya. Hidup hanyalah sebagai persiapan untuk memasuki kehidupan yang sebenarnya. Hidup yang hakiki adalah hidup yang dalam keadaan tanpa raga karena sebenarnya raga telah banyak menimbulkan kesesatan. Raga merupakan kerangkeng bagi manusia yang menyebabkan hidup dalam banyak penderitaan.
Penulis: Suud Sarim Karimullah