Fenomena Politik Populis di Indonesia

Fenomena politik populis di Indonesia merupakan salah satu ciri paling menonjol dalam dinamika politik kontemporer, terutama sejak era reformasi yang membuka ruang demokrasi lebih luas bagi mobilisasi massa dan ekspresi politik identitas. Populisme hadir sebagai gaya politik, strategi retorika, sekaligus ideologi yang berusaha membangun citra pemimpin atau kelompok tertentu sebagai representasi langsung dari “rakyat kecil” melawan “elite korup” atau “kelompok asing” yang dianggap mengancam kedaulatan nasional.

Dalam konteks Indonesia, populisme berkembang bukan hanya sebagai reaksi terhadap ketimpangan ekonomi dan sosial, tetapi juga sebagai konsekuensi dari transformasi komunikasi politik yang dipengaruhi media sosial, krisis kepercayaan terhadap institusi, dan kebutuhan akan figur politik yang dianggap autentik dan dekat dengan rakyat. Fenomena ini mengubah lanskap demokrasi Indonesia, menciptakan ruang baru bagi partisipasi politik sekaligus menimbulkan risiko terhadap rasionalitas publik dan stabilitas demokratis.

Secara historis, akar populisme di Indonesia tidak sepenuhnya baru. Dalam berbagai bentuknya, populisme telah muncul sejak masa perjuangan kemerdekaan, ketika para pemimpin nasional seperti Sukarno menggunakan retorika anti-imperialisme dan anti-elitisme untuk memobilisasi rakyat. Sukarno, misalnya, dalam pidato dan kebijakan politiknya, sering menekankan bahwa kekuasaan sejati berada di tangan rakyat, bukan elite kolonial atau kaum borjuis.

Retorika tersebut merupakan bentuk populisme ideologis yang menekankan kedaulatan rakyat dalam melawan dominasi kekuatan asing. Namun, dalam praktiknya, populisme Sukarno kemudian bertransformasi menjadi otoritarianisme yang dibungkus dengan narasi revolusioner. Populisme semacam ini membentuk pola dasar yang terus berulang dalam sejarah politik Indonesia: semangat kerakyatan yang pada akhirnya terjebak dalam kultus individu dan sentralisasi kekuasaan.

Setelah tumbangnya Orde Baru dan masuknya Indonesia ke era demokrasi elektoral, populisme mendapatkan ruang baru yang lebih dinamis. Demokrasi membuka peluang bagi pemimpin untuk memanfaatkan sentimen publik secara langsung, dan media massa terutama televisi dan media sosial yang memberikan panggung yang luas untuk retorika populis. Pemimpin seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, dan Prabowo Subianto dalam berbagai cara telah menggunakan simbol populisme untuk membangun kedekatan dengan rakyat.

Jokowi, misalnya, sering digambarkan sebagai figur “wong cilik” yang sederhana, jujur, dan bekerja nyata. Gaya komunikasinya yang blusukan, berpakaian kasual, dan sering turun langsung ke lapangan memperkuat kesan populis bahwa ia bukan bagian dari elite politik lama. Sementara itu, Prabowo tampil dengan gaya populisme nasionalis yang menekankan kedaulatan negara, ketegasan militer, dan perlindungan terhadap kepentingan rakyat dari ancaman asing. Kedua gaya ini menunjukkan bahwa populisme di Indonesia tidak terbatas pada satu ideologi, melainkan menjadi strategi politik yang lentur dan efektif dalam menarik simpati massa.

Ciri utama dari populisme di Indonesia adalah penggunaan retorika moral yang membelah masyarakat ke dalam dikotomi sederhana antara “rakyat baik” dan “elite jahat”. Dalam diskursus publik, narasi seperti “kita versus mereka” menjadi sangat dominan, terutama menjelang pemilihan umum. Media sosial menjadi arena utama di mana populisme menemukan bentuk paling agresifnya.

Melalui platform seperti Facebook, Twitter, dan TikTok, pesan-pesan politik disebarkan secara emosional, seringkali disertai disinformasi, teori konspirasi, atau simbol-simbol religius untuk memperkuat loyalitas massa. Populisme digital ini berbahaya karena mampu membentuk persepsi politik berbasis emosi, bukan rasionalitas. Akibatnya, perdebatan politik berubah menjadi adu moral dan sentimen identitas, bukan pertarungan gagasan dan program kebijakan yang substansial.

Populisme juga tumbuh subur karena adanya krisis kepercayaan terhadap institusi negara dan partai politik. Banyak warga memandang partai politik sebagai kendaraan elite yang hanya mencari keuntungan pribadi. Dalam kondisi seperti ini, pemimpin populis hadir dengan janji untuk “membersihkan sistem” dan “mengembalikan kekuasaan kepada rakyat.” Janji seperti ini terdengar menarik di tengah ketimpangan ekonomi dan ketidakpuasan sosial.

Di Indonesia, populisme sering mengambil bentuk campuran antara moralitas dan nasionalisme, misalnya dengan slogan seperti “Indonesia untuk rakyat Indonesia” atau “Berdaulat secara politik dan berdikari secara ekonomi.” Namun, dalam praktiknya, populisme sering berhenti pada simbol dan retorika, tanpa menghasilkan reformasi struktural yang menjawab akar persoalan ketimpangan tersebut.

Salah satu bentuk paling kuat dari populisme Indonesia adalah populisme berbasis agama. Fenomena ini mencapai puncaknya dalam gerakan 212 tahun 2016, ketika isu penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dimobilisasi menjadi gerakan politik berskala nasional. Di baliknya terdapat dinamika kompleks antara sentimen keagamaan, kepentingan politik, dan kekecewaan sosial terhadap sistem pemerintahan.

Populisme religius ini memperlihatkan bagaimana identitas keagamaan dapat dijadikan sumber legitimasi politik untuk membangun solidaritas sekaligus eksklusivitas. Meskipun gerakan semacam itu mampu menunjukkan kekuatan mobilisasi rakyat, ia juga menimbulkan dampak polarisasi yang tajam di masyarakat, di mana politik identitas menggantikan dialog rasional dalam menentukan pilihan politik.

Dalam konteks ini, populisme di Indonesia memiliki wajah ganda. Di satu sisi, ia dapat memperluas partisipasi politik rakyat dengan menumbuhkan kesadaran akan hak dan aspirasi mereka. Pemimpin populis sering kali berhasil mengartikulasikan keluhan masyarakat bawah yang diabaikan oleh elite birokrasi dan ekonomi. Namun di sisi lain, populisme juga dapat menjadi ancaman bagi demokrasi ketika ia menolak pluralisme, mengabaikan prinsip check and balance, dan menempatkan kehendak mayoritas sebagai satu-satunya sumber legitimasi.

Ketika pemimpin populis mempersonifikasikan “rakyat” dan menegasikan peran lembaga-lembaga demokratis seperti parlemen, pers, atau lembaga yudisial, maka demokrasi justru terancam berubah menjadi otoritarianisme baru yang dibungkus dengan legitimasi kerakyatan. Dalam praktik pemerintahan, populisme sering menimbulkan paradoks.

Pemimpin yang awalnya naik dengan dukungan rakyat sebagai figur anti-elite sering kali kemudian menjadi bagian dari elite itu sendiri setelah berkuasa. Mereka menggunakan gaya populis untuk mempertahankan legitimasi, sementara secara substantif tetap menjalankan politik kompromi dan oligarki. Fenomena ini tampak dalam berbagai kebijakan ekonomi dan pembangunan yang masih menguntungkan kelompok berpengaruh, meski dibungkus dengan jargon “pro rakyat”.

Pembangunan infrastruktur besar-besaran, misalnya, sering dipromosikan sebagai wujud keberpihakan kepada rakyat, tetapi pada saat yang sama memperkuat ketimpangan antarwilayah dan memperbesar ketergantungan pada investor besar. Inilah bentuk populisme pragmatis, di mana retorika kerakyatan digunakan untuk membenarkan kebijakan yang tidak selalu berpihak pada rakyat kecil.

Di tingkat lokal, politik populis juga berkembang pesat, terutama dalam pemilihan kepala daerah. Banyak kepala daerah yang mengadopsi gaya kepemimpinan populis dengan menonjolkan kedekatan emosional dengan masyarakat, tampil sederhana, dan melakukan aksi simbolik seperti menolak fasilitas mewah atau turun langsung ke pasar. Strategi semacam ini efektif dalam menarik simpati pemilih, tetapi seringkali mengabaikan tata kelola yang berbasis data dan kebijakan rasional.

Populisme lokal menjadi fenomena yang mempersulit pembangunan berkelanjutan karena orientasinya lebih pada citra jangka pendek ketimbang kebijakan jangka panjang. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena ini juga menunjukkan bahwa politik Indonesia kini menuntut pemimpin yang komunikatif, terbuka, dan mampu memahami aspirasi rakyat secara langsung.

Perkembangan populisme di Indonesia juga harus dilihat dalam konteks global. Gelombang populisme yang melanda dunia, dari Donald Trump di Amerika Serikat, Jair Bolsonaro di Brasil, hingga Narendra Modi di India yang turut memengaruhi gaya politik di Indonesia. Globalisasi informasi mempercepat penyebaran pola retorika populis seperti anti-globalisme, anti-imigran, dan nasionalisme ekonomi. Namun, populisme Indonesia memiliki ciri khas tersendiri: ia tidak sepenuhnya menolak demokrasi liberal, tetapi berusaha mengisi ruangnya dengan narasi moral dan identitas lokal.

Populisme Indonesia juga cenderung hibrid, memadukan unsur modernitas dan tradisionalitas, nasionalisme dan religiositas, rasionalitas dan mistisisme. Inilah yang membuatnya sangat adaptif dan sulit dikendalikan oleh kerangka politik rasional semata. Dalam jangka panjang, populisme di Indonesia menghadirkan tantangan serius terhadap kualitas demokrasi. Jika populisme dibiarkan tumbuh tanpa kontrol institusional yang kuat, maka ia dapat mengikis nilai-nilai deliberatif yang menjadi dasar demokrasi.

Politik akan bergeser dari arena diskusi publik menjadi ajang kultus individu dan loyalitas buta terhadap figur tertentu. Untuk mencegahnya, perlu dilakukan penguatan literasi politik masyarakat agar tidak mudah terjebak dalam retorika emosional. Media juga memiliki peran penting dalam menjaga kualitas informasi publik dan menolak penyebaran narasi populis yang menyesatkan. Di sisi lain, partai politik harus bertransformasi dari sekadar mesin elektoral menjadi wadah pembelajaran politik yang menumbuhkan kesadaran kritis.

Fenomena politik populis di Indonesia mencerminkan ketegangan antara ideal demokrasi dan realitas sosial-ekonomi yang masih timpang. Populisme muncul karena ada jarak yang lebar antara rakyat dan elite, antara janji kesejahteraan dan kenyataan ketidakadilan. Oleh karena itu, cara terbaik menghadapi populisme bukan dengan menolaknya, melainkan dengan merespons akar permasalahan yang melahirkannya: ketimpangan ekonomi, lemahnya institusi, dan defisit kepercayaan publik.

Jika negara mampu menciptakan pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif, maka populisme tidak lagi menjadi ancaman, melainkan energi politik yang dapat diarahkan untuk memperkuat demokrasi. Populisme, dengan segala paradoksnya, adalah cermin dari dinamika demokrasi Indonesia yang menjadi sebuah tanda bahwa rakyat ingin didengar, tetapi juga peringatan agar kekuasaan tidak lagi berbicara atas nama mereka tanpa benar-benar memahami suara yang berasal dari bawah.

Related Posts

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Perlindungan hukum untuk pekerja migran Indonesia merupakan isu yang memiliki dimensi sosial, ekonomi, dan politik yang sangat kompleks, karena menyangkut jutaan warga negara yang menggantungkan hidupnya di luar negeri dan…

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa depan pers di tengah tekanan politik merupakan topik yang semakin krusial dalam konteks demokrasi Indonesia yang sedang mengalami dinamika kompleks antara kebebasan berekspresi, kekuatan ekonomi-politik, dan transformasi digital yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You Missed

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital

Media Sosial sebagai Arena Pertarungan Politik di Indonesia

Media Sosial sebagai Arena Pertarungan Politik di Indonesia