 
									Fenomena mafia hukum di Indonesia merupakan salah satu masalah paling kronis dan sistemik yang terus menggerogoti integritas negara hukum dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Istilah “mafia hukum” merujuk pada praktik-praktik ilegal yang melibatkan aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga lembaga bantuan hukum yang bersekongkol dengan pihak-pihak tertentu untuk memanipulasi proses hukum demi keuntungan pribadi, politik, atau ekonomi.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana hukum yang seharusnya menjadi alat keadilan justru sering dijadikan instrumen kekuasaan dan komoditas transaksi. Mafia hukum bukan sekadar perilaku individu korup, tetapi mencerminkan kegagalan struktural dan kultural dalam sistem hukum Indonesia, sebab kekuasaan, uang, dan koneksi sering kali lebih menentukan hasil perkara daripada kebenaran dan keadilan.
Akar historis mafia hukum di Indonesia dapat ditelusuri dari warisan kolonial yang menempatkan hukum sebagai alat kontrol politik. Pada masa Hindia Belanda, hukum tidak dirancang untuk menciptakan keadilan bagi pribumi, melainkan untuk mempertahankan kekuasaan kolonial. Pola instrumentalistik ini berlanjut setelah kemerdekaan, ketika hukum sering dijadikan sarana legitimasi politik penguasa, terutama pada masa Orde Baru.
Di era Soeharto, kekuasaan eksekutif menempati posisi dominan atas lembaga yudikatif dan legislatif, menciptakan kultur hukum yang tunduk pada kepentingan politik. Aparat penegak hukum menjadi bagian dari mesin kekuasaan, bukan penjaga moralitas publik. Dalam situasi demikian, penyimpangan hukum seperti suap, jual-beli vonis, dan manipulasi kasus tumbuh subur karena tidak ada mekanisme pengawasan yang efektif. Reformasi 1998 memang membawa angin segar melalui pemisahan kekuasaan dan pembentukan lembaga-lembaga independen seperti Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun struktur korup yang telah mengakar lama tidak serta merta hilang, bahkan justru berevolusi dalam bentuk yang lebih canggih.
Mafia hukum di Indonesia beroperasi melalui jejaring kekuasaan yang kompleks dan melibatkan berbagai aktor, baik dari internal lembaga penegak hukum maupun pihak eksternal seperti politisi, pengusaha, dan bahkan advokat. Skemanya beragam, mulai dari pengaturan perkara (case fixing), pemerasan terhadap tersangka, penghilangan barang bukti, hingga negosiasi putusan di tingkat pengadilan. Dalam banyak kasus, mafia hukum berperan sebagai perantara yang menjembatani kepentingan pihak berkepentingan dengan aparat penegak hukum.
Istilah seperti “pasal bisa dinegosiasikan” atau “urus di belakang” sudah menjadi jargon populer dalam praktik hukum sehari-hari, menandakan betapa normalnya penyimpangan tersebut di mata publik. Bahkan di tingkat paling rendah seperti kepolisian sektor, laporan masyarakat bisa saja “mengendap” jika tidak disertai imbalan tertentu. Fenomena ini memperlihatkan bahwa keadilan di Indonesia seringkali bersifat transaksional, bukan berdasarkan prinsip hukum, tetapi atas dasar siapa yang mampu membayar lebih.
Di ranah peradilan, praktik jual-beli perkara menjadi bentuk paling mencolok dari mafia hukum. Vonis hakim dapat berubah tergantung pada besaran “suap yustisial” yang disepakati. Beberapa skandal besar pernah mengguncang kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Kasus suap yang melibatkan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi pada tahun 2020 menjadi salah satu contoh nyata bagaimana kekuasaan yudisial diselewengkan.
Nurhadi ditangkap oleh KPK karena menerima suap senilai miliaran rupiah terkait pengaturan perkara bisnis besar di Mahkamah Agung. Kasus ini memperlihatkan bahwa korupsi di sektor hukum bukan hanya dilakukan oleh oknum kecil, tetapi telah merasuki puncak lembaga peradilan. Ironisnya, vonis ringan terhadap pelaku mafia hukum kerap memperkuat persepsi bahwa sistem peradilan tidak serius memberantas dirinya sendiri.
Kepolisian, sebagai ujung tombak penegakan hukum, juga sering disebut sebagai salah satu episentrum mafia hukum. Laporan masyarakat mengenai pungutan liar, rekayasa kasus, atau kriminalisasi terhadap warga sipil sudah menjadi fenomena umum. Beberapa kasus besar, seperti “drama Sambo” tahun 2022, memperlihatkan betapa kuatnya kultur impunitas dan solidaritas korps dalam melindungi pelanggaran internal.
Sementara itu, banyak kasus rakyat kecil justru terhenti di tahap penyidikan karena keterbatasan ekonomi untuk mengakses keadilan. Mafia hukum dalam tubuh kepolisian sering bekerja secara sistematis melalui jaringan informal antara penyidik, jaksa, dan pengacara. Mekanisme semacam ini menciptakan industri hukum gelap yang sulit dilacak secara formal, karena beroperasi di bawah bayang-bayang hubungan personal dan patronase.
Di tingkat kejaksaan dan lembaga hukum lainnya, fenomena serupa terjadi dengan pola yang hampir identik. Jaksa, yang seharusnya menjadi penuntut umum yang netral, kerap terlibat dalam negosiasi perkara untuk kepentingan pribadi atau politik. Dalam beberapa kasus, jaksa menahan atau memperlambat proses hukum untuk memberikan tekanan kepada pihak tertentu agar mau “berdamai” melalui jalur finansial. Hal ini diperburuk oleh lemahnya sistem akuntabilitas internal dan minimnya perlindungan terhadap whistleblower.
Pengawasan oleh lembaga eksternal seperti Komisi Kejaksaan pun kerap tidak efektif karena terbatasnya kewenangan investigatif dan tekanan politik yang besar. Mafia hukum, dengan demikian, tidak hanya bertahan karena adanya korupsi individu, tetapi karena sistem yang memungkinkan praktik tersebut berlangsung tanpa konsekuensi serius.
Salah satu dampak paling serius dari mafia hukum adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap negara dan supremasi hukum. Ketika publik menyadari bahwa hukum dapat dibeli, mereka kehilangan keyakinan terhadap institusi keadilan dan memilih menyelesaikan masalah secara informal melalui kekerasan, mediasi adat, atau bahkan jalur politik.
Fenomena ini menyebabkan erosi legitimasi negara hukum dan memperkuat budaya ketidakpercayaan (cynicism) terhadap pemerintah. Dalam jangka panjang, hal ini berbahaya karena menciptakan siklus ketidakadilan yang sulit diputus: masyarakat enggan mempercayai hukum, sementara aparat hukum merasa tidak berkewajiban menjaga integritas karena mereka tidak lagi diawasi secara moral oleh publik.
Secara kultural, mafia hukum juga dipelihara oleh budaya patronase dan feodalisme birokrasi. Banyak pejabat hukum yang merasa memiliki posisi bukan karena meritokrasi, tetapi karena loyalitas kepada atasan atau jaringan politik tertentu. Dalam sistem seperti ini, praktik saling melindungi menjadi norma tak tertulis yang lebih kuat daripada aturan formal.
Ketika seorang pejabat tinggi tersandung kasus, aparat di bawahnya cenderung menutup-nutupi dengan alasan menjaga kehormatan institusi. Budaya semacam ini menjadikan reformasi hukum di Indonesia sulit berjalan karena yang dihadapi bukan sekadar masalah prosedural, tetapi masalah etika dan moralitas institusional. Bahkan ketika ada upaya reformasi, seringkali hanya bersifat kosmetik membenahi struktur tanpa menyentuh akar persoalan yang sebenarnya, yakni integritas manusia di dalamnya.
Upaya pemberantasan mafia hukum memang telah dilakukan oleh beberapa lembaga independen seperti KPK, Komisi Yudisial, dan Ombudsman. Namun, efektivitasnya semakin tereduksi oleh intervensi politik dan pelemahan kelembagaan. Revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019 misalnya, dianggap banyak pihak sebagai bentuk pelemahan lembaga antikorupsi karena mengurangi independensi penyidik dan memperkuat kontrol eksekutif.
Setelah revisi tersebut, banyak kasus korupsi besar yang melibatkan elite politik tidak lagi ditangani secara tuntas. Hal ini memperkuat dugaan bahwa mafia hukum telah merambah hingga ke tingkat kebijakan nasional. Bahkan lembaga yang seharusnya menjadi pengawas justru dikooptasi oleh sistem yang ingin mereka awasi. Dalam situasi seperti ini, masyarakat kehilangan harapan bahwa hukum bisa menjadi alat keadilan, bukan alat kekuasaan. Namun demikian, masih ada titik terang yang menunjukkan potensi perlawanan terhadap mafia hukum.
Gerakan masyarakat sipil, media investigatif, dan organisasi non-pemerintah terus berupaya mengungkap praktik penyimpangan hukum. Liputan-liputan investigatif yang dilakukan oleh media seperti Tempo, Narasi TV, atau Konde.co berhasil membongkar banyak kasus kolusi antara aparat hukum dan pengusaha.
Di sisi akademik, banyak perguruan tinggi hukum mulai memperkenalkan pendekatan etika profesi dan integritas publik dalam kurikulum untuk menciptakan generasi baru penegak hukum yang lebih berintegritas. Gerakan reformasi hukum yang berbasis partisipasi publik juga mulai muncul, seperti advokasi “Open Justice” dan digitalisasi sistem peradilan untuk meningkatkan transparansi.
Masa depan pemberantasan mafia hukum di Indonesia bergantung pada tiga hal utama: penegakan integritas individu, reformasi sistemik, dan tekanan publik yang konsisten. Integritas individu tidak bisa dibentuk hanya dengan pelatihan teknis, tetapi dengan menanamkan nilai moral bahwa penegakan hukum adalah bentuk pelayanan publik tertinggi.
Reformasi sistemik harus mencakup desentralisasi pengawasan, transparansi proses hukum, serta perlindungan kuat terhadap pelapor pelanggaran. Sedangkan tekanan publik harus dijaga melalui kebebasan pers dan partisipasi masyarakat sipil yang aktif. Jika ketiganya dapat berjalan bersamaan, ada harapan bahwa praktik mafia hukum dapat dipersempit, meskipun tidak mungkin dihapus sepenuhnya dalam waktu singkat.
Mafia hukum bukan sekadar gejala korupsi, melainkan cermin dari krisis moral dalam birokrasi hukum Indonesia. Ia menunjukkan betapa rapuhnya etika keadilan ketika hukum kehilangan rohnya sebagai pelindung kemanusiaan dan hanya menjadi instrumen kekuasaan. Dalam situasi ini, perjuangan melawan mafia hukum tidak bisa diserahkan semata kepada lembaga penegak hukum, melainkan menjadi tanggung jawab kolektif seluruh bangsa.
Hukum yang benar hanya bisa ditegakkan dalam masyarakat yang menghormati kebenaran, dan kebenaran tidak akan tegak jika rakyat diam melihat keadilan diperjualbelikan. Selama masih ada keberanian untuk melawan, melaporkan, dan membongkar praktik kotor dalam sistem hukum, harapan bagi keadilan sejati di Indonesia belum sepenuhnya padam.




