Biaya pendidikan tinggi di Indonesia terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, seiring dengan kebutuhan institusi untuk membiayai operasional, meningkatkan kualitas akademik, serta memenuhi standar global dalam penyediaan sarana dan prasarana. Namun, kenaikan biaya tersebut menimbulkan problem serius bagi aksesibilitas pendidikan tinggi, terutama bagi kelompok kelas menengah bawah.
Meskipun retorika meritokrasi selalu digembar-gemborkan, kenyataannya biaya yang kian melambung justru memperlebar kesenjangan sosial, menciptakan eksklusi pendidikan, dan pada akhirnya menimbulkan paradoks dalam cita-cita demokratisasi ilmu pengetahuan. Pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi jalan keluar dari lingkaran kemiskinan justru berisiko berubah menjadi mekanisme reproduksi ketimpangan sosial yang semakin akut.
Dalam konteks sosiologis, kelas menengah bawah berada dalam posisi yang unik sekaligus rapuh. Mereka memiliki aspirasi kuat untuk meningkatkan taraf hidup melalui pendidikan anak, namun terbatasnya sumber daya ekonomi membuat mereka sulit menjangkau universitas-universitas berkualitas yang menawarkan prospek kerja lebih baik.
Akibatnya, akses mereka terjebak dalam dilema antara mengorbankan pendapatan keluarga demi membiayai kuliah atau memilih jalur pendidikan yang lebih murah tetapi dengan kualitas yang sering kali dipertanyakan. Realitas ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan tinggi bukan sekadar angka nominal, melainkan instrumen yang menentukan siapa yang berhak menikmati mobilitas sosial vertikal dan siapa yang tetap terjebak dalam struktur kelas yang stagnan.
Kenaikan biaya kuliah secara struktural memperlemah konsep keadilan sosial dalam pendidikan. Beberapa perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia menerapkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang seharusnya progresif, tetapi implementasinya kerap menimbulkan kontroversi. Alih-alih meringankan beban kelompok berpenghasilan rendah, praktik penentuan golongan UKT kadang tidak transparan dan tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi ekonomi riil keluarga mahasiswa.
Banyak keluarga kelas menengah bawah yang tidak cukup miskin untuk mendapatkan keringanan penuh, tetapi juga tidak cukup mampu untuk membayar UKT di golongan menengah ke atas. Mereka akhirnya menanggung beban yang lebih berat dibandingkan dengan keluarga kelas atas yang lebih leluasa memenuhi kebutuhan pendidikan. Kondisi ini menimbulkan perasaan ketidakadilan struktural yang memengaruhi persepsi masyarakat terhadap legitimasi kebijakan pendidikan tinggi.
Dampak ekonomi dari mahalnya biaya pendidikan juga menciptakan tekanan psikologis yang besar bagi keluarga kelas menengah bawah. Banyak orang tua yang terpaksa bekerja lebih keras, berutang, atau mengorbankan kebutuhan pokok lainnya demi membiayai kuliah anak. Di sisi lain, mahasiswa dari kelompok ini sering kali harus mengambil pekerjaan sambilan untuk menutup biaya kuliah dan kebutuhan hidup di kota, yang pada gilirannya mengurangi waktu dan energi mereka untuk belajar.
Tekanan finansial ini tidak hanya berimplikasi pada prestasi akademik, tetapi juga pada kesehatan mental mahasiswa. Kecemasan tentang pembayaran biaya kuliah, rasa bersalah kepada orang tua, dan ketidakpastian masa depan memperberat beban psikologis yang bisa menghambat pengembangan diri secara optimal.
Keterbatasan akses akibat biaya tinggi juga berdampak pada pemilihan jurusan. Sering kali mahasiswa kelas menengah bawah tidak dapat memilih program studi sesuai minat dan bakat, melainkan terpaksa memilih jurusan dengan biaya lebih rendah atau peluang beasiswa lebih besar.
Padahal, kesesuaian antara minat dan bidang studi sangat penting dalam menentukan kualitas pengalaman belajar dan keberhasilan karier jangka panjang. Ketidakcocokan ini bisa berujung pada menurunnya motivasi, meningkatnya angka putus kuliah, serta ketidakefisienan dalam pemanfaatan potensi manusia. Pendidikan yang seharusnya menjadi wahana aktualisasi diri justru berubah menjadi kompromi pragmatis yang didikte oleh keterbatasan ekonomi.
Dalam kerangka makro, biaya pendidikan tinggi yang mahal menciptakan ketidaksetaraan struktural dalam pasar tenaga kerja. Lulusan dari universitas terkemuka dengan fasilitas dan jejaring luas lebih mudah memperoleh pekerjaan bergaji tinggi, sementara lulusan dari perguruan tinggi kecil atau swasta murah menghadapi hambatan besar dalam bersaing. Akibatnya, kelas menengah bawah yang tidak mampu mengakses pendidikan berkualitas terjebak pada pekerjaan dengan upah rendah dan mobilitas sosial terbatas.
Fenomena ini memperkuat reproduksi kelas, di mana anak-anak dari keluarga kaya tetap berada di strata atas, sementara anak-anak dari keluarga miskin sulit keluar dari lingkaran ketidakberdayaan ekonomi. Pendidikan tinggi yang diidealkan sebagai the great equalizer justru menjadi mekanisme reproduksi elit sosial.
Ketimpangan ini semakin kompleks dengan adanya logika neoliberal yang merasuk ke dalam dunia pendidikan. Universitas semakin dipandang sebagai entitas bisnis yang bersaing dalam pasar global, sehingga biaya kuliah menjadi salah satu instrumen utama untuk menutup kebutuhan anggaran. Mahasiswa diposisikan sebagai konsumen, bukan lagi warga negara yang memiliki hak atas pendidikan.
Pergeseran paradigma ini membuat akses pendidikan tinggi semakin bergantung pada daya beli keluarga, bukan pada potensi intelektual individu. Bagi kelas menengah bawah, kondisi ini adalah beban ganda: di satu sisi mereka dituntut untuk berinvestasi dalam pendidikan demi bertahan dalam kompetisi pasar kerja, di sisi lain mereka dipinggirkan oleh mekanisme ekonomi pendidikan yang eksklusif.
Pemerintah memang berusaha mengatasi masalah ini melalui berbagai program beasiswa seperti KIP Kuliah dan Bidikmisi, namun cakupan dan efektivitasnya masih terbatas. Banyak mahasiswa yang sebenarnya layak tidak mendapatkan bantuan karena keterbatasan kuota atau kendala administratif. Beasiswa sering kali hanya menutupi biaya kuliah pokok, sementara kebutuhan lain seperti biaya hidup, transportasi, dan buku tidak tercakup.
Selain aspek ekonomi, terdapat pula dimensi kultural yang memperkuat hambatan akses. Bagi banyak keluarga kelas menengah bawah, pendidikan tinggi masih dianggap sebagai kemewahan. Ketika biaya kuliah semakin tinggi, sebagian orang tua cenderung lebih memilih agar anak bekerja lebih cepat untuk menambah penghasilan keluarga daripada melanjutkan pendidikan. Hal ini berbeda dengan keluarga kelas atas yang memiliki modal ekonomi dan kultural untuk mendorong anaknya menempuh pendidikan tinggi hingga ke jenjang internasional.
Perbedaan persepsi ini memperlebar jurang akses dan mempertegas bahwa biaya pendidikan tinggi tidak hanya menciptakan hambatan finansial, tetapi juga mengubah orientasi kultural masyarakat terhadap pendidikan. Lebih jauh, dampak biaya pendidikan tinggi yang mahal juga merambat pada aspek politik dan demokrasi.
Mahasiswa dari kelas menengah bawah yang terhambat aksesnya berarti kehilangan kesempatan untuk memperluas pengetahuan, meningkatkan kesadaran kritis, dan berpartisipasi dalam wacana publik. Jika hanya kelas atas yang mampu menikmati pendidikan tinggi berkualitas, maka ruang intelektual dan politik akan semakin didominasi oleh elite. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi setara dari seluruh lapisan masyarakat, namun kesenjangan pendidikan justru mempersempit basis partisipasi dan memperkuat oligarki intelektual.
Persoalan ini menjadi semakin provokatif ketika dikaitkan dengan retorika pembangunan manusia yang kerap digaungkan pemerintah. Di satu sisi, pemerintah menekankan pentingnya sumber daya manusia unggul sebagai kunci pembangunan, namun di sisi lain belum mampu memastikan biaya pendidikan tinggi terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
Paradoks ini menimbulkan pertanyaan mendasar: untuk siapa sebenarnya pendidikan tinggi dikembangkan? Apakah ia hanya untuk kalangan elite yang mampu membayar, ataukah untuk seluruh rakyat yang berhak atas kesempatan yang setara? Pertanyaan ini menggugat legitimasi negara sebagai penyelenggara pendidikan sekaligus memperlihatkan kontradiksi antara ideologi meritokrasi dan realitas material.
Jika dibiarkan, dampak jangka panjang dari biaya pendidikan tinggi yang mahal terhadap akses kelas menengah bawah adalah terciptanya stratifikasi sosial yang semakin kaku. Kelas menengah bawah akan kesulitan naik kelas, sementara kelas atas akan terus mendominasi akses terhadap posisi-posisi strategis di ekonomi, politik, dan budaya.
Fenomena ini bisa memicu frustrasi sosial, ketidakpuasan politik, dan bahkan konflik horizontal. Ketika peluang untuk meningkatkan taraf hidup melalui jalur pendidikan tertutup, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara dan sistem demokrasi itu sendiri. Untuk itu, ke depan diperlukan reformasi serius dalam pembiayaan pendidikan tinggi.
Pendidikan tidak boleh diperlakukan semata sebagai komoditas yang tunduk pada logika pasar, melainkan sebagai hak dasar warga negara yang harus dijamin aksesibilitasnya. Pemerintah perlu meningkatkan investasi publik dalam pendidikan tinggi, memperluas cakupan beasiswa yang komprehensif, dan mengontrol biaya kuliah agar tidak melampaui daya beli masyarakat. Selain itu, perlu ada inovasi dalam skema pembiayaan, seperti income contingent loan yang membebankan cicilan setelah lulusan memperoleh pekerjaan dengan gaji tertentu. Reformasi ini penting untuk memastikan bahwa kelas menengah bawah tidak semakin terpinggirkan dari ruang akademik.
Biaya pendidikan tinggi yang mahal memiliki dampak multidimensional terhadap akses kelas menengah bawah, mulai dari beban ekonomi, tekanan psikologis, keterbatasan pilihan akademik, hingga reproduksi ketimpangan sosial. Mahalnya biaya kuliah menjadikan pendidikan tinggi sebagai instrumen eksklusif yang lebih menguntungkan kelas atas dibanding menjadi sarana pembebasan bagi seluruh warga.
Jika masalah ini tidak segera diatasi, maka cita-cita Indonesia untuk membangun masyarakat berpengetahuan, adil, dan setara hanya akan menjadi retorika kosong. Pendidikan tinggi, yang semestinya menjadi tangga untuk keluar dari kemiskinan, berpotensi berubah menjadi pagar tinggi yang menjaga agar kelas menengah bawah tetap berada di posisinya, sementara peluang mobilitas sosial hanya dinikmati segelintir elite yang beruntung.





