Indonesia sering dipandang sebagai salah satu negara yang memiliki potensi untuk memainkan peran penting dalam upaya perdamaian internasional, termasuk konflik Palestina–Israel. Hal ini tidak lepas dari sejarah panjang diplomasi Indonesia yang senantiasa menekankana dukungan terhadap kemerdekaan bangsa-bangsa yang masih berada dalam penjajahan.
Sejak awal kemerdekaannya, Indonesia menegaskan sikap anti-kolonialisme dalam Pembukaan UUD 1945, yang dengan jelas menyebutkan bahwa “segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.” Sikap inilah yang sejak lama membuat Indonesia konsisten mendukung perjuangan Palestina, bahkan sebelum Palestina secara resmi diakui sebagai sebuah negara oleh sebagian besar dunia.
Namun, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah dukungan historis, politik, dan moral tersebut dapat dikembangkan menjadi kapasitas nyata Indonesia sebagai mediator perdamaian antara Palestina dan Israel, sebuah konflik yang telah berlangsung lebih dari tujuh dekade dan melibatkan kepentingan geopolitik global yang sangat kompleks.
Secara historis, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel, dan hal itu menjadi penghalang dalam memainkan peran sebagai mediator langsung. Namun, justru karena tidak adanya hubungan diplomatik inilah Indonesia sering dianggap sebagai aktor yang lebih netral dan tidak memiliki kepentingan strategis yang mengikat pada salah satu pihak, khususnya Israel.
Indonesia lebih dekat dengan Palestina, baik secara emosional, politik, maupun religius, mengingat mayoritas penduduknya beragama Islam dan solidaritas umat Islam global terhadap Palestina sangat kuat. Tetapi netralitas yang dibutuhkan seorang mediator justru menuntut adanya jarak dari keterikatan emosional tersebut. Dalam hal ini, Indonesia menghadapi dilema: di satu sisi, dukungan kuat terhadap Palestina membuat kredibilitasnya tinggi di mata negara-negara Arab dan dunia Islam, tetapi di sisi lain, hal itu justru dapat menimbulkan keraguan dari pihak Israel tentang kemampuan Indonesia untuk bersikap benar-benar imparsial.
Jika ditilik dari sisi kapasitas diplomasi, Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam forum internasional, baik sebagai anggota aktif Gerakan Non-Blok maupun sebagai anggota G20 yang kerap mendorong agenda perdamaian dan keadilan global. Indonesia juga telah berpengalaman menjadi mediator dalam konflik regional, misalnya dalam perundingan damai antara pemerintah Filipina dengan kelompok Moro yang berakhir dengan kesepakatan damai pada tahun 2014.
Indonesia juga berhasil memediasi konflik di dalam negeri, seperti penyelesaian konflik Aceh melalui kesepakatan damai Helsinki pada 2005, yang memberikan bukti nyata bahwa Indonesia memiliki tradisi diplomasi dan mediasi yang bisa diandalkan. Namun, harus diakui bahwa konflik Palestina–Israel jauh lebih kompleks dibanding konflik internal atau regional, karena ia melibatkan intervensi kekuatan besar dunia, pertarungan ideologi, kepentingan ekonomi global, dan akar sejarah yang panjang serta penuh luka.
Dalam konteks geopolitik kontemporer, posisi Indonesia sering disejajarkan dengan Turki, Qatar, atau Mesir yang juga berperan sebagai mediator dalam konflik di Timur Tengah. Namun, perbedaan yang cukup mencolok adalah Indonesia tidak memiliki kedekatan geografis maupun keterlibatan langsung di kawasan Timur Tengah, sehingga daya tekan maupun leverage politiknya lebih terbatas.
Mesir, misalnya, memiliki pengaruh langsung karena berbatasan dengan Gaza dan kerap menjadi pintu masuk bantuan kemanusiaan. Qatar sering berperan karena hubungannya yang unik, yakni mampu menjalin komunikasi baik dengan Hamas maupun Amerika Serikat. Turki memiliki kekuatan militer dan posisi strategis sebagai anggota NATO yang menjadikannya pemain penting dalam dinamika regional.
Sementara Indonesia lebih mengandalkan legitimasi moral, jumlah populasi Muslim terbesar di dunia, serta reputasi sebagai negara demokrasi yang relatif stabil. Pertanyaannya, apakah legitimasi moral semata cukup untuk mendorong peran Indonesia sebagai mediator yang efektif?
Jika dilihat dari sisi peluang, Indonesia memiliki beberapa keunggulan. Pertama, dukungan domestik yang kuat terhadap Palestina menjadikan isu ini selalu mendapat prioritas dalam politik luar negeri.
Kedua, Indonesia dapat memanfaatkan keanggotaannya di berbagai organisasi internasional, seperti PBB, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan ASEAN, untuk membangun koalisi internasional yang mendorong lahirnya forum baru atau jalur alternatif dalam negosiasi.
Ketiga, Indonesia dikenal cukup luwes dalam berhubungan dengan berbagai blok politik dunia, termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, Tiongkok, dan Rusia. Luwesnya hubungan ini bisa dipakai untuk membangun konsensus internasional yang lebih luas, sesuatu yang sering menjadi kendala dalam proses perdamaian Palestina–Israel karena perbedaan kepentingan negara-negara besar. Namun demikian, ada pula tantangan fundamental yang membuat peran Indonesia sebagai mediator tidak mudah terwujud.
Pertama, ketiadaan hubungan diplomatik dengan Israel membuat ruang komunikasi formal sangat terbatas. Dalam mediasi, komunikasi yang terbuka dan berkelanjutan dengan kedua belah pihak adalah syarat mutlak. Tanpa itu, Indonesia hanya akan dipandang sebagai pendukung Palestina, bukan sebagai pihak penengah.
Kedua, Indonesia masih menghadapi keterbatasan sumber daya diplomasi dalam hal intensitas keterlibatan global. Meski memiliki diplomat-diplomat handal, fokus utama diplomasi Indonesia lebih banyak tertuju pada kawasan Asia Tenggara dan isu-isu ekonomi global, bukan pada penyelesaian konflik Timur Tengah yang sangat rumit.
Ketiga, faktor internal politik Indonesia sendiri sering kali memengaruhi konsistensi sikap luar negeri. Tekanan opini publik yang sangat pro-Palestina bisa membuat pemerintah sulit mengambil langkah-langkah yang dianggap terlalu “akomodatif” terhadap Israel, padahal dalam mediasi diperlukan kompromi tertentu yang bisa diterima kedua belah pihak.
Dari perspektif normatif, Indonesia sering menyerukan prinsip keadilan, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan solusi dua negara sebagai jalan keluar konflik. Prinsip ini sejalan dengan resolusi-resolusi PBB yang hingga kini menjadi basis hukum internasional dalam mencari penyelesaian. Namun, implementasi dari prinsip tersebut menghadapi kenyataan politik yang penuh kebuntuan.
Israel secara konsisten memperluas permukiman di Tepi Barat, sementara Palestina terpecah dalam dua kubu utama, Fatah di Tepi Barat dan Hamas di Gaza, yang seringkali saling bersaing. Dalam kondisi ini, mediator bukan hanya dituntut untuk mendamaikan Israel dan Palestina, tetapi juga harus mampu menjembatani perpecahan internal di antara pihak Palestina sendiri.
Tantangan inilah yang sering membuat peran mediasi sangat kompleks, karena keberhasilan tidak hanya bergantung pada kesediaan kedua belah pihak utama, melainkan juga pada konsolidasi internal mereka masing-masing. Meski begitu, bukan berarti Indonesia tidak memiliki ruang manuver.
Salah satu strategi yang dapat diambil adalah menjadi bridge builder atau penghubung antar aktor internasional yang memiliki pengaruh langsung. Indonesia bisa mendorong dialog di forum multilateral, memperkuat dukungan negara-negara non-Barat terhadap Palestina, serta mengedepankan pendekatan humaniter yang lebih universal.
Dengan menekankan aspek kemanusiaan, misalnya pengiriman bantuan medis, pendidikan, atau rekonstruksi pasca-serangan, Indonesia dapat memperluas perannya dari sekadar pendukung moral menjadi aktor yang nyata menghadirkan solusi praktis bagi penderitaan rakyat Palestina. Di sisi lain, langkah-langkah ini juga bisa menjadi pintu masuk untuk membangun komunikasi tidak langsung dengan Israel melalui mekanisme internasional atau pihak ketiga.
Indonesia juga dapat memanfaatkan soft power berupa kekuatan budaya, agama, dan solidaritas global umat Islam. Posisi Indonesia sebagai negara demokrasi dengan populasi Muslim terbesar di dunia memberinya keunikan: ia bisa menunjukkan bahwa Islam dan demokrasi dapat berjalan beriringan, sekaligus menawarkan perspektif alternatif terhadap narasi konflik yang sering dibingkai secara sempit sebagai pertentangan agama.
Akan tetapi, jika berbicara secara realistis, kemungkinan Indonesia untuk menjadi mediator utama dalam waktu dekat masih terbatas. Indonesia bisa berperan lebih efektif sebagai co-mediator atau sebagai pendukung upaya mediasi yang dipimpin aktor-aktor dengan kapasitas lebih besar seperti PBB, Amerika Serikat, atau negara-negara tertentu di Timur Tengah.
Dalam peran ini, Indonesia tetap bisa memberikan kontribusi signifikan, misalnya dengan memperkuat posisi Palestina dalam forum internasional, memberikan tekanan moral terhadap Israel melalui jalur diplomasi, dan menyediakan dukungan teknis dalam proses negosiasi. Peran semacam ini memang tidak seprestisius menjadi mediator utama, tetapi lebih realistis dan sesuai dengan kapasitas serta keterbatasan yang ada.
Jika dilihat lebih jauh, gagasan Indonesia menjadi mediator perdamaian Palestina–Israel sebenarnya lebih merupakan cerminan dari aspirasi moral dan idealisme politik luar negeri Indonesia ketimbang kalkulasi geopolitik yang realistis. Sebagai bangsa yang lahir dari perjuangan anti-kolonial, solidaritas dengan Palestina merupakan bagian integral dari identitas nasional. Namun, idealisme tersebut akan diuji ketika berhadapan dengan realitas politik internasional yang penuh kepentingan.
Apakah Indonesia mampu melampaui batasan domestik dan keterbatasan diplomatiknya untuk tampil sebagai mediator yang kredibel, atau justru akan terjebak dalam retorika tanpa kontribusi nyata, sangat bergantung pada strategi diplomasi yang cermat, konsistensi politik luar negeri, serta kemampuan membangun aliansi internasional yang lebih luas.
Pertanyaan apakah Indonesia bisa menjadi mediator perdamaian Palestina–Israel tidak bisa dijawab secara sederhana dengan ya atau tidak. Jawabannya terletak pada sejauh mana Indonesia mampu memanfaatkan modal moral, sejarah, dan diplomasi multilateralnya untuk menjembatani kepentingan yang bertabrakan dalam konflik ini.
Jika Indonesia mampu mengkombinasikan idealisme dengan pragmatisme, mengelola tekanan domestik dengan kepentingan global, serta membangun sinergi dengan aktor-aktor kunci internasional, maka perannya sebagai mediator, meski mungkin bukan yang utama, tetap bisa memberi dampak berarti. Namun jika hanya mengandalkan legitimasi moral tanpa langkah konkret, maka gagasan tersebut hanya akan tinggal sebagai retorika politik luar negeri.






