Pendidikan Kritis ala Paulo Freire di Era Digital

Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah manusia selalu ditandai oleh pergeseran paradigma yang mengubah cara berpikir, menilai realitas, dan membangun struktur pengetahuan yang dianggap sahih. Setiap pergeseran tersebut tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan merupakan respons terhadap keterbatasan paradigma sebelumnya serta jawaban atas kebutuhan masyarakat untuk memahami fenomena yang terus berkembang.

Dalam konteks filsafat ilmu, salah satu paradigma yang memberi pengaruh besar terhadap cara manusia mengkaji realitas empiris adalah positivisme. Positivisme menekankan pada observasi yang terukur, data yang dapat diverifikasi, dan pemisahan tegas antara fakta dan nilai. Prinsip ini berakar pada keyakinan bahwa realitas sosial maupun alamiah tunduk pada hukum kausal yang dapat ditemukan, dirumuskan, dan diuji secara objektif.

Pemikiran ini, meski sering dikritik karena dianggap terlalu reduksionis, tetap menjadi landasan penting bagi berkembangnya ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu eksakta modern, sebab ia memberikan kerangka yang sistematis bagi penelitian dengan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Ketika paradigma positivistik diterapkan dalam pendidikan, muncul perdebatan mengenai sejauh mana pendekatan yang berorientasi pada data dan kuantifikasi mampu menjawab kompleksitas persoalan pembelajaran. Di satu sisi, positivisme menawarkan kejelasan metodologis yang memungkinkan pengukuran capaian belajar, penentuan indikator keberhasilan, dan perbandingan lintas waktu maupun wilayah.

Namun, di sisi lain, pendidikan bukan semata-mata ruang produksi pengetahuan terukur, melainkan juga arena pembentukan nilai, karakter, dan identitas. Maka di sinilah tantangan muncul: bagaimana sebuah pendekatan yang menekankan keobjektifan dapat diintegrasikan dengan dimensi normatif yang inheren dalam pendidikan.

Jawaban terhadap dilema ini bukanlah dengan menolak positivisme secara mutlak, melainkan dengan mengkritisinya secara produktif sehingga ia dapat dikombinasikan dengan perspektif lain yang lebih holistik. Positivisme penting dalam memberikan kerangka untuk menguji efektivitas program pendidikan, tetapi ia juga harus dilengkapi dengan pendekatan hermeneutik, kritis, dan konstruktivis agar pendidikan tidak terjebak dalam reduksi angka semata.

Dalam kaitannya dengan fenomena sosial-ekonomi kontemporer, paradigma positivisme masih memainkan peran sentral. Misalnya, dalam kajian mengenai ekonomi gig atau pekerjaan berbasis kontrak jangka pendek yang marak di era digital. Pendekatan positivistik memungkinkan peneliti mengukur korelasi antara jam kerja, tingkat kepuasan pekerja, dan pendapatan aktual yang diterima.

Data tersebut berguna untuk memberikan gambaran kuantitatif mengenai kesejahteraan pekerja gig yang sering kali berada di bawah standar minimum. Namun, angka-angka tersebut tidak sepenuhnya dapat menangkap realitas subjektif berupa perasaan teralienasi, kurangnya perlindungan sosial, atau absennya rasa aman dalam bekerja.

Keterbatasan serupa juga terlihat dalam studi lingkungan, misalnya penelitian tentang dinamika mangrove di kawasan pesisir. Melalui citra satelit dan perhitungan indeks vegetasi, positivisme memberi perangkat yang kuat untuk menilai perubahan luasan maupun densitas vegetasi. Data numerik yang dihasilkan dapat mengungkap tren degradasi atau rehabilitasi ekosistem, sekaligus menjadi dasar bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan langkah konservasi.

Tetapi jika hanya berhenti pada angka, penelitian semacam ini akan kehilangan aspek relasional yang menghubungkan mangrove dengan kehidupan masyarakat pesisir, budaya lokal, maupun praktik ekonomi tradisional seperti perikanan. Maka, integrasi pendekatan positivistik dengan pendekatan partisipatoris yang menggali narasi masyarakat lokal akan memperkaya pemahaman, sekaligus memastikan kebijakan yang dilahirkan tidak sekadar teknokratis, melainkan juga berakar pada realitas sosial yang konkret.

Dalam perspektif positivistik, pengetahuan dianggap sahih sejauh dapat diobservasi, diukur, dan diulang dalam kondisi yang serupa. Akibatnya, aspek nilai, keyakinan, dan interpretasi dianggap kurang relevan karena tidak dapat diverifikasi secara empiris. Padahal dalam kehidupan sosial, justru makna subjektif yang membentuk perilaku manusia.

Sebagai contoh, seorang pekerja mungkin secara kuantitatif menerima gaji yang layak, tetapi jika ia merasa diperlakukan tidak adil, maka kepuasan kerjanya akan menurun dan produktivitas pun terdampak. Fakta ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak dapat dipersempit hanya pada yang dapat diukur. Dengan demikian, tantangan akademik yang sesungguhnya adalah bagaimana menggabungkan keunggulan positivisme yang berbasis data dengan pendekatan interpretatif yang berbasis makna, sehingga analisis terhadap fenomena sosial menjadi lebih menyeluruh.

Dalam ranah manajemen pendidikan, integrasi ini menjadi sangat penting. Perencanaan pendidikan sering kali didasarkan pada proyeksi kuantitatif: jumlah guru yang dibutuhkan, anggaran yang harus dialokasikan, atau target jumlah lulusan yang ingin dicapai. Semua itu merupakan praktik positivistik yang memberi arah kebijakan yang jelas. Namun, pendidikan juga menyangkut relasi antara guru, siswa, dan komunitas belajar yang tidak dapat sepenuhnya ditangkap oleh angka.

Kualitas interaksi, rasa saling percaya, atau motivasi intrinsik adalah dimensi yang membutuhkan pendekatan kualitatif. Maka manajemen pendidikan harus mengambil posisi integratif: menggunakan data untuk merancang kebijakan, tetapi juga membuka ruang refleksi untuk memahami dimensi normatif dan subjektif yang menyertainya. Inilah yang menjadikan filsafat ilmu, termasuk positivisme, relevan dalam praktik pendidikan, karena ia bukan hanya memberi alat, melainkan juga memancing perdebatan epistemologis yang mengasah kepekaan intelektual.

Secara historis, keberhasilan positivisme dalam mengubah wajah ilmu pengetahuan modern tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial-politik pada abad ke-19. Ketika revolusi industri membawa perubahan besar dalam struktur ekonomi dan sosial, muncul kebutuhan untuk memiliki ilmu yang mampu menjelaskan dan memprediksi gejala secara tepat.

Positivisme hadir menjawab kebutuhan itu dengan janji kepastian, keteraturan, dan objektivitas. Ilmu yang berorientasi pada fakta empiris diyakini dapat memberikan solusi terhadap permasalahan masyarakat industri yang kompleks. Namun, pada abad ke-20, muncul kritik keras dari mazhab Frankfurt dan para pemikir post-positivistik yang menyoroti bahwa klaim objektivitas positivisme sering kali menyembunyikan kepentingan ideologis. Ilmu yang dianggap netral justru dapat digunakan untuk melanggengkan relasi kuasa yang timpang. Kritik ini membuka kesadaran baru bahwa pengetahuan tidak pernah sepenuhnya bebas nilai, melainkan selalu dipengaruhi oleh konteks sosial dan politik.

Kesadaran ini membawa implikasi penting bagi praktik akademik masa kini. Dalam konteks globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, data empiris tersedia dalam jumlah melimpah. Namun, banjir data tanpa refleksi epistemologis hanya akan melahirkan apa yang disebut sebagai positivisme naif, yakni keyakinan bahwa angka dapat menjelaskan segalanya.

Padahal, justru dalam era big data, kebutuhan akan penafsiran yang mendalam semakin besar. Angka-angka yang dihasilkan dari algoritma tidak memiliki makna jika tidak ditafsirkan dalam kerangka sosial, budaya, dan etis yang tepat. Oleh karena itu, perdebatan mengenai positivisme bukan lagi sekadar wacana akademik yang abstrak, melainkan persoalan praksis yang menentukan bagaimana masyarakat memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk menghadapi tantangan zaman.

Integrasi antara positivisme dan pendekatan lain juga dapat dilihat dalam praktik riset pendidikan berbasis teknologi. Misalnya, penggunaan learning analytics memungkinkan peneliti melacak pola belajar siswa melalui data digital, mulai dari waktu akses, frekuensi klik, hingga hasil kuis. Data ini, yang sangat positivistik, membantu guru mengidentifikasi kesulitan belajar siswa secara objektif. Namun, interpretasi terhadap data tersebut tetap membutuhkan wawasan pedagogis yang tidak bisa direduksi menjadi statistik semata.

Guru harus memahami bahwa di balik angka ada cerita individual, latar belakang keluarga, bahkan kondisi psikologis yang mempengaruhi hasil belajar. Dengan demikian, teknologi dan data harus diperlakukan sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu tunggal dalam mengambil keputusan pendidikan. Inilah bentuk konkret dari kritik terhadap positivisme yang tidak berhenti pada penolakan, melainkan berusaha menggunakannya secara reflektif dan integratif.

Menariknya, dalam filsafat ilmu Indonesia, tokoh-tokoh seperti Noeng Muhadjir dan Jujun Suriasumantri juga memberikan penekanan penting pada dialektika antara paradigma. Mereka menekankan bahwa positivisme memang membawa kejelasan metodologis, tetapi harus diperlakukan sebagai salah satu pendekatan di antara sekian banyak cara memahami realitas.

Noeng Muhadjir, misalnya, menegaskan perlunya pendekatan multidisipliner yang tidak hanya mengandalkan kuantifikasi, melainkan juga mengintegrasikan refleksi filosofis. Sementara Jujun Suriasumantri mengingatkan bahwa ilmu harus dipandang dalam kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga ia tidak jatuh pada determinisme angka. Pemikiran semacam ini relevan untuk mendorong mahasiswa pascasarjana agar tidak sekadar menguasai teknik penelitian, melainkan juga mampu melakukan refleksi epistemologis yang mendalam.

Jika ditarik lebih jauh, perdebatan mengenai positivisme tidak hanya soal metodologi, melainkan juga menyangkut orientasi moral ilmu. Apakah ilmu hanya bertugas menjelaskan realitas secara netral, ataukah ia juga memiliki tanggung jawab etis untuk memperbaiki kondisi manusia? Positivisme klasik cenderung menekankan netralitas, tetapi perkembangan zaman menuntut ilmu untuk mengambil posisi yang lebih proaktif.

Dalam isu lingkungan, misalnya, ilmuwan tidak cukup hanya mengukur degradasi hutan atau peningkatan emisi karbon, melainkan juga harus mengartikulasikan implikasi etis dari data tersebut. Sains harus menjadi advokat bagi kelestarian bumi, bukan sekadar pencatat statistik kehancuran. Dengan demikian, ilmu pengetahuan berfungsi bukan hanya sebagai cermin realitas, melainkan juga sebagai kompas moral yang menuntun arah perubahan sosial.

Kesadaran akan keterbatasan positivisme seharusnya tidak dimaknai sebagai alasan untuk menolaknya. Justru sebaliknya, dengan memahami batas-batasnya, kita dapat menggunakan positivisme secara lebih kritis dan strategis. Ia tetap penting untuk menjamin bahwa ilmu tidak terjebak dalam subjektivitas yang liar, tetapi ia juga harus disandingkan dengan kesadaran hermeneutik, kritis, dan praksis.

Dengan cara inilah, ilmu dapat berkembang bukan hanya sebagai instrumen prediksi, melainkan juga sebagai sarana emansipasi. Pendidikan, penelitian, dan kebijakan publik yang berpijak pada integrasi paradigma akan lebih mampu menjawab tantangan zaman yang kompleks, karena ia tidak menutup diri pada satu cara pandang, melainkan membuka diri pada dialog epistemologis yang produktif.

Perdebatan mengenai positivisme adalah cerminan dari dinamika intelektual yang terus hidup. Ia menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan bukan entitas beku, melainkan arena pergulatan gagasan yang selalu terbuka untuk revisi, kritik, dan pembaruan. Positivisme telah berjasa besar dalam memberikan fondasi metodologis bagi ilmu modern, tetapi ia juga harus terus diuji agar tidak jatuh menjadi dogma.

Justru dalam ketegangan antara klaim objektivitas positivisme dan kritik terhadapnya, lahir peluang untuk mengembangkan cara berpikir yang lebih kaya, integratif, dan manusiawi. Dengan demikian, positivisme tidak lagi dilihat sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai salah satu mata rantai dalam evolusi panjang pencarian pengetahuan manusia.

Related Posts

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Perlindungan hukum untuk pekerja migran Indonesia merupakan isu yang memiliki dimensi sosial, ekonomi, dan politik yang sangat kompleks, karena menyangkut jutaan warga negara yang menggantungkan hidupnya di luar negeri dan…

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa depan pers di tengah tekanan politik merupakan topik yang semakin krusial dalam konteks demokrasi Indonesia yang sedang mengalami dinamika kompleks antara kebebasan berekspresi, kekuatan ekonomi-politik, dan transformasi digital yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You Missed

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital

Media Sosial sebagai Arena Pertarungan Politik di Indonesia

Media Sosial sebagai Arena Pertarungan Politik di Indonesia