Kolonialisme Hukum dalam Sistem Nasional

Kolonialisme hukum dalam sistem nasional bukanlah sekadar warisan masa lalu yang beku dalam sejarah, melainkan sebuah realitas yang terus hidup dalam denyut kehidupan hukum kontemporer. Ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dengan penuh keyakinan bahwa penjajahan harus dihapuskan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, sesungguhnya yang dimaksud bukan hanya penjajahan secara fisik dan politik, tetapi juga penjajahan yang lebih subtil dalam bentuk dominasi hukum kolonial yang diwariskan dan dilestarikan hingga hari ini.

Hukum kolonial tidak hanya menundukkan tubuh, tetapi juga membentuk cara berpikir, struktur institusi, dan mentalitas hukum bangsa pascakolonial. Dengan demikian, perbincangan tentang kolonialisme hukum bukanlah nostalgia akademik, melainkan upaya kritis untuk memahami mengapa sistem hukum nasional yang berdiri di atas cita-cita kemerdekaan justru masih menampilkan wajah yang asing terhadap rakyatnya sendiri.

Kolonialisme hukum bekerja melalui mekanisme hegemoni yang canggih. Ketika Belanda menancapkan kekuasaan di Nusantara, mereka sadar bahwa senjata tidak cukup untuk menguasai populasi yang begitu besar dan beragam. Mereka membutuhkan instrumen yang mampu mengatur, menundukkan, sekaligus melegitimasi dominasi.

Instrumen itu adalah hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang hingga kini masih berlaku, meskipun telah dimodifikasi, adalah contoh nyata bagaimana instrumen hukum kolonial dilegalkan menjadi hukum nasional.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), hukum acara, bahkan struktur peradilan yang birokratis dan hierarkis, semuanya berakar dari sistem hukum Belanda. Proses transformasi dari hukum kolonial menjadi hukum nasional tidak pernah benar-benar bersih dari warisan lama, sehingga meski bangsa ini telah merdeka secara formal, dalam ranah hukum ia masih terus hidup dalam bayang-bayang kolonial.

Problem mendasar dari kolonialisme hukum adalah keberlanjutan cara pandang legalistik-positivistik yang memisahkan hukum dari realitas sosial masyarakat. Dalam logika hukum kolonial, hukum dipandang sebagai instrumen kekuasaan untuk mengendalikan subjek yang diperintah, bukan sebagai refleksi aspirasi masyarakat.

Warisan ini tampak jelas ketika negara pascakolonial masih terus memandang rakyatnya sebagai objek regulasi, bukan subjek pembentuk hukum. Proses legislasi lebih sering didorong oleh kepentingan elite politik dan birokrasi daripada kebutuhan riil masyarakat. Akibatnya, sistem hukum nasional gagal merepresentasikan pluralitas hukum yang hidup di tengah masyarakat, seperti hukum adat dan hukum Islam, yang sering hanya diakui secara marginal.

Di sinilah kolonialisme hukum bekerja secara halus dengan melanggengkan epistemologi tunggal bahwa hukum harus ditulis, diformalkan, dan disahkan negara agar sah berlaku. Segala bentuk hukum lain yang hidup dalam praktik sosial masyarakat dianggap sekunder, bahkan ilegal.

Kolonialisme hukum juga menjelma dalam ketimpangan relasi kekuasaan antara negara dan rakyat. Warisan doktrin kolonial yang menempatkan negara sebagai pusat kekuasaan tertinggi dalam menentukan hukum, masih bertahan hingga kini. Konsep domein verklaring, yang dahulu digunakan pemerintah kolonial Belanda untuk mengklaim bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah milik negara, ternyata menemukan bentuk barunya dalam kebijakan agraria dan kehutanan modern.

Negara pascakolonial mengulang praktik kolonial dengan merampas tanah rakyat dan masyarakat adat demi proyek pembangunan atau investasi. Instrumen hukum digunakan untuk melegitimasi perampasan itu, dengan bahasa yang lebih halus seperti “kepentingan umum” atau “proyek strategis nasional”. Dengan demikian, kolonialisme hukum tidak hanya diwarisi, tetapi juga direproduksi dalam praktik negara modern yang berdaulat.

Kolonialisme hukum tidak hanya tampak dalam substansi hukum, tetapi juga dalam struktur dan budaya hukum. Struktur peradilan di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh model kolonial yang hierarkis, birokratis, dan sering kali jauh dari akses rakyat kecil.

Proses peradilan yang rumit, formalistik, dan penuh jargon hukum membuat rakyat kesulitan mendapatkan keadilan. Dalam praktiknya, keadilan lebih mudah diakses oleh mereka yang memiliki sumber daya ekonomi dan politik. Sementara itu, budaya hukum yang diwariskan kolonial menumbuhkan mentalitas legalistik di kalangan aparat hukum, yang lebih sibuk menafsirkan teks hukum daripada mencari keadilan substantif.

Aparat hukum terjebak dalam sikap formalistik yang mengabaikan nilai-nilai lokal, keadilan sosial, dan konteks budaya masyarakat. Akibatnya, hukum sering kali dipandang sebagai entitas asing yang menindas, bukan sebagai sarana pembebasan.

Kritik terhadap kolonialisme hukum juga harus diarahkan pada dimensi epistemologisnya. Pendidikan hukum di Indonesia sebagian besar masih mengadopsi kurikulum dan tradisi pemikiran hukum Eropa kontinental. Mahasiswa hukum diajarkan untuk menghafal pasal-pasal, memuja kepastian hukum, dan mengabaikan dimensi sosiologis, filosofis, dan kritis dari hukum.

Kolonialisme hukum dilestarikan dalam benak generasi baru ahli hukum, yang seharusnya menjadi agen transformasi. Alih-alih melahirkan intelektual hukum yang progresif, sistem pendidikan hukum justru mencetak teknokrat hukum yang patuh pada sistem legalistik. Inilah bentuk kolonialisme yang paling berbahaya: kolonialisme dalam pikiran, yang membuat bangsa ini terus-menerus merasa inferior terhadap tradisi hukum Barat dan enggan menggali nilai-nilai hukumnya sendiri.

Dalam era globalisasi, hukum internasional sering kali digunakan sebagai instrumen hegemoni negara-negara maju terhadap negara berkembang. Instrumen-instrumen hukum yang lahir dari lembaga internasional seperti WTO, IMF, atau Bank Dunia, meskipun dikemas dalam bahasa netral dan universal, sering kali memaksakan agenda neoliberal yang merugikan rakyat kecil.

Indonesia sebagai negara pascakolonial sering kali tunduk pada instrumen hukum global tersebut, sehingga kolonialisme hukum menemukan wajah barunya dalam bentuk kolonialisme global. Hukum nasional dipaksa menyesuaikan diri dengan standar internasional, sementara kebutuhan lokal sering terpinggirkan. Dengan demikian, kolonialisme hukum tidak hanya bersifat historis, tetapi juga aktual dan terus berevolusi. Namun demikian, tidak berarti bahwa bangsa ini sepenuhnya tanpa daya dalam menghadapi kolonialisme hukum.

Sejak awal kemerdekaan, ada upaya untuk melakukan unifikasi hukum nasional melalui Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Pokok Agraria, dan berbagai kebijakan hukum lainnya yang mencoba menegaskan identitas nasional. Upaya pembaruan hukum pidana melalui RKUHP, meskipun menuai kontroversi, juga dapat dibaca sebagai usaha untuk keluar dari bayang-bayang Wetboek van Strafrecht. Akan tetapi, upaya-upaya ini sering kali setengah hati karena masih terjebak dalam logika lama.

Pembaruan hukum tidak cukup hanya dengan mengganti pasal-pasal, tetapi membutuhkan dekonstruksi epistemologis terhadap paradigma hukum kolonial yang menekankan formalisme, sentralisme, dan positivisme. Tanpa keberanian untuk menggali nilai-nilai hukum dari Pancasila, adat, dan kearifan lokal, maka pembaruan hukum hanya akan menjadi kosmetik yang menutupi wajah kolonial yang lama. Dalam konteks ini, kolonialisme hukum harus dipahami sebagai problem struktural yang menuntut transformasi radikal.

Pertama, perlu ada pengakuan penuh terhadap pluralisme hukum di Indonesia. Hukum adat dan hukum Islam tidak boleh dipandang sebagai pelengkap, melainkan sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional.

Kedua, struktur peradilan harus direformasi agar lebih inklusif, transparan, dan dekat dengan rakyat. Peradilan adat misalnya, bisa diberikan ruang untuk menyelesaikan perkara tertentu sesuai dengan nilai-nilai lokal, tentu dengan tetap menjunjung hak asasi manusia.

Ketiga, pendidikan hukum harus direvolusi agar melahirkan generasi kritis yang tidak terjebak dalam mentalitas kolonial, tetapi berani merumuskan paradigma hukum yang sesuai dengan kepribadian bangsa.

Keempat, dalam ranah global, Indonesia harus lebih berdaulat dalam menentukan arah hukumnya, tidak selalu tunduk pada tekanan standar internasional yang sering bias kepentingan kapitalisme global.

Kolonialisme hukum dalam sistem nasional harus dilihat bukan sebagai masa lalu yang harus dilupakan, melainkan sebagai cermin untuk memahami realitas hukum kita hari ini. Bangsa yang merdeka secara politik tetapi masih terjajah secara hukum sejatinya belum merdeka sepenuhnya. Hukum seharusnya menjadi instrumen pembebasan, bukan instrumen dominasi.

Hukum seharusnya mengakar pada nilai-nilai keadilan sosial, kemanusiaan, dan kearifan lokal, bukan sekadar meniru sistem hukum asing. Dengan keberanian intelektual dan politik untuk mendekolonisasi hukum, bangsa ini bisa benar-benar membangun sistem hukum nasional yang berdaulat, adil, dan sesuai dengan cita-cita kemerdekaan.

Related Posts

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Perlindungan hukum untuk pekerja migran Indonesia merupakan isu yang memiliki dimensi sosial, ekonomi, dan politik yang sangat kompleks, karena menyangkut jutaan warga negara yang menggantungkan hidupnya di luar negeri dan…

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa depan pers di tengah tekanan politik merupakan topik yang semakin krusial dalam konteks demokrasi Indonesia yang sedang mengalami dinamika kompleks antara kebebasan berekspresi, kekuatan ekonomi-politik, dan transformasi digital yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You Missed

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital

Media Sosial sebagai Arena Pertarungan Politik di Indonesia

Media Sosial sebagai Arena Pertarungan Politik di Indonesia