Keamanan Siber, Ketakutan Publik, dan Mandat Tanpa Batas

Keamanan siber dewasa ini tidak lagi hanya dipandang sebagai urusan teknis yang berkaitan dengan perangkat keras, perangkat lunak, atau jaringan komunikasi digital. Ia telah menjelma menjadi sebuah medan politik, psikologis, dan sosial yang melibatkan relasi kuasa, ketakutan publik, serta justifikasi bagi mandat tanpa batas dari negara maupun korporasi global.

Transformasi digital yang membawa dunia ke dalam keterhubungan total menciptakan ruang baru di mana ancaman tidak kasat mata dapat dimanipulasi untuk membentuk persepsi masyarakat. Ketika kejahatan siber, peretasan, dan serangan digital dipresentasikan sebagai bahaya laten, publik digiring ke dalam atmosfer ketakutan yang konsisten. Ketakutan ini bukanlah fenomena netral, melainkan instrumen yang dapat diproduksi, direkayasa, dan dieksploitasi untuk memperluas kewenangan tertentu.

Publik sering kali tidak memiliki kapasitas teknis untuk memahami kompleksitas ancaman digital. Alih-alih menguasai detail teknis tentang enkripsi, serangan DDoS, atau kerentanan zero-day, masyarakat cenderung merespons dengan rasa cemas dan kehilangan kepercayaan terhadap sistem digital.

Di sinilah peran narasi ketakutan muncul, baik melalui media maupun lembaga negara yang kerap menekankan skenario terburuk. Pencurian identitas, serangan terhadap infrastruktur kritis, atau kebocoran data massal selalu ditempatkan dalam kerangka bencana, seolah dunia digital adalah arena perang permanen yang setiap saat bisa melumpuhkan kehidupan sehari-hari. Narasi seperti ini bukan tanpa tujuan, karena ketakutan publik dapat dijadikan dasar legitimasi kebijakan yang memperluas pengawasan, memperketat regulasi, bahkan membatasi kebebasan individu.

Mandat tanpa batas di sini tidak sekadar dimaknai sebagai perluasan yurisdiksi negara atas ruang digital, melainkan juga sebagai otorisasi yang tidak memiliki garis akhir dalam justifikasi. Dengan menggunakan retorika ancaman permanen, negara dan lembaga keamanan menempatkan dirinya sebagai pelindung mutlak yang membutuhkan instrumen baru: sensor tanpa jeda, pengumpulan data berskala besar, dan algoritma prediktif untuk mendeteksi potensi ancaman.

Karena ancaman diposisikan sebagai tak terduga dan berulang, maka mandat yang diberikan pun tidak memiliki batas temporal maupun substantif. Regulasi keamanan siber kemudian cenderung bergerak menuju absolutisme, di mana negara merasa memiliki legitimasi untuk melanggar privasi, mengontrol arus informasi, bahkan menekan perbedaan pendapat dengan alasan menjaga keamanan kolektif. Mandat seperti ini beroperasi dalam kerangka logika keadaan darurat yang dipermanenkan, di mana publik diharapkan menyerahkan sebagian besar kebebasannya demi ilusi perlindungan.

Fenomena ini semakin kompleks ketika korporasi teknologi global masuk sebagai aktor dominan. Di satu sisi, mereka memposisikan diri sebagai penyedia solusi keamanan, menjual perangkat lunak antivirus, firewall, atau layanan cloud yang diklaim aman.

Di sisi lain, mereka juga terlibat dalam praktik pengumpulan data masif yang justru membuka celah baru bagi kerentanan privasi. Hubungan antara negara dan korporasi menjadi simbiotik: negara membutuhkan infrastruktur korporasi untuk mengawasi warganya, sementara korporasi membutuhkan legitimasi negara untuk memperluas pasar dan monopoli teknologinya.

Keduanya sama-sama menggunakan narasi ketakutan publik untuk menjustifikasi kebijakan dan praktik yang sesungguhnya memperkuat posisi mereka. Maka, keamanan siber bukan lagi sekadar masalah melindungi jaringan, melainkan juga strategi hegemonik untuk mengendalikan opini publik dan mendisiplinkan masyarakat melalui teknologi.

Di balik ketakutan publik, tersembunyi pula paradoks yang sering tidak disadari. Ketika masyarakat merasa tidak berdaya terhadap ancaman siber, mereka justru semakin bergantung pada institusi yang mengklaim mampu memberikan perlindungan. Dependensi ini mengurangi kapasitas kritis masyarakat dalam mempertanyakan motif atau legitimasi kebijakan keamanan.

Publik dengan mudah menerima bahwa pengawasan masif adalah harga yang wajar demi menghindari serangan teroris digital, bahwa pembatasan akses informasi adalah langkah preventif yang rasional, atau bahwa penggunaan kecerdasan buatan untuk menganalisis perilaku online adalah mekanisme perlindungan yang tak terelakkan. Padahal, setiap langkah tersebut mempersempit ruang kebebasan sipil, memperluas otoritas institusi, dan menciptakan kondisi di mana mandat tanpa batas menjadi normalisasi.

Negara-negara besar menggunakan isu ancaman siber sebagai instrumen diplomasi koersif, saling menuduh melakukan spionase digital, hingga menggunakan retorika keamanan nasional untuk melegitimasi proteksionisme teknologi. Dalam konteks ini, ketakutan publik di tingkat domestik beresonansi dengan narasi global tentang ancaman asing yang tidak terlihat.

Warga negara digiring untuk percaya bahwa ancaman datang dari luar, sementara negara dituntut memperkuat kedaulatan digitalnya. Mandat tanpa batas kemudian menemukan justifikasi baru dalam retorika nasionalisme digital, di mana segala bentuk intervensi dan kontrol dipandang sah karena berkaitan dengan pertahanan nasional. Hal ini memproduksi kondisi di mana keamanan siber menjadi dalih untuk menutup diri dari keterbukaan global sekaligus memperkuat sentralisasi kekuasaan di dalam negeri. Namun, mandat tanpa batas ini tidak berhenti pada level makro negara dan korporasi saja.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat juga mengalami bentuk mikro dari pengawasan permanen. Perangkat pribadi yang terkoneksi internet menjadi pintu masuk bagi algoritma yang merekam preferensi, kebiasaan, hingga orientasi politik individu.

Keamanan siber yang semula dimaknai sebagai perlindungan kini bertransformasi menjadi mekanisme pengendalian sosial. Aplikasi media sosial, misalnya, menjual ilusi ruang privat namun sesungguhnya beroperasi sebagai instrumen pengumpulan data yang masif.

Ketika ancaman peretasan atau pencurian data dipublikasikan, publik didorong untuk memperkuat keamanan akun dengan fitur-fitur baru yang pada dasarnya semakin memperdalam keterlibatan mereka dalam ekosistem pengawasan digital. Dengan demikian, mandat tanpa batas juga menubuh dalam praktik sehari-hari, mengikat individu dalam relasi ketergantungan yang sulit dihindari.

Ketakutan publik terhadap ancaman siber pada akhirnya membentuk semacam psikologi kolektif yang rentan terhadap manipulasi. Narasi tentang musuh tak terlihat membangkitkan rasa gentar yang sulit diverifikasi, karena masyarakat awam tidak memiliki akses maupun kapasitas teknis untuk menguji kebenaran klaim tentang serangan siber.

Dalam kondisi ini, masyarakat cenderung menerima informasi secara dogmatis, sehingga membuka ruang bagi produksi ketakutan yang terus-menerus. Produksi ketakutan ini menciptakan kondisi di mana masyarakat selalu berada dalam mode kewaspadaan tinggi, sebuah keadaan yang oleh teori politik disebut sebagai politics of fear.

Politik ketakutan ini memungkinkan negara maupun korporasi mengatur agenda publik, mengalihkan perhatian dari isu-isu struktural lain seperti ketidakadilan sosial atau eksploitasi ekonomi, dan menjustifikasi kebijakan yang sebelumnya sulit diterima. Dengan kata lain, keamanan siber tidak hanya melindungi jaringan, tetapi juga memelihara kondisi psikologis masyarakat yang pasif dan mudah dikendalikan.

Ketika mandat tanpa batas ini semakin mengakar, maka yang lahir adalah problem fundamental tentang demokrasi. Demokrasi idealnya beroperasi dalam kerangka batasan kekuasaan, transparansi, dan akuntabilitas. Namun dalam konteks keamanan siber, mandat tanpa batas justru mendorong logika sebaliknya: kekuasaan tanpa batas, kerahasiaan yang dilegitimasi, dan minimnya mekanisme pengawasan publik.

Dengan dalih keamanan, negara dapat mengakses data warganya tanpa kontrol yudisial yang memadai, membatasi informasi yang beredar, bahkan melakukan intervensi langsung dalam ruang digital yang semestinya otonom. Kondisi ini melahirkan bentuk baru dari otoritarianisme digital, di mana publik tidak lagi menjadi pemilik ruang demokratis, melainkan sekadar objek yang perlu dilindungi dan didisiplinkan. Ironisnya, justru dalam nama keamanan, kebebasan demokratis mengalami degradasi yang signifikan.

Implikasi dari situasi ini bersifat multidimensional. Dari perspektif etika, terdapat pertanyaan mendasar tentang sejauh mana keamanan dapat dijadikan justifikasi untuk melanggar hak asasi manusia, terutama hak atas privasi dan kebebasan berekspresi. Dari perspektif politik, muncul problem tentang bagaimana membatasi mandat negara dalam konteks ancaman yang bersifat abstrak dan tidak terukur.

Dari perspektif teknologi, terdapat paradoks antara kebutuhan untuk menciptakan sistem yang aman sekaligus risiko bahwa sistem tersebut akan dimonopoli oleh segelintir aktor yang memiliki kepentingan politik maupun ekonomi. Semua dimensi ini berkelindan dalam satu kenyataan bahwa keamanan siber, ketakutan publik, dan mandat tanpa batas membentuk suatu struktur kuasa baru yang lebih kompleks dibandingkan model kekuasaan tradisional.

Related Posts

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa depan pers di tengah tekanan politik merupakan topik yang semakin krusial dalam konteks demokrasi Indonesia yang sedang mengalami dinamika kompleks antara kebebasan berekspresi, kekuatan ekonomi-politik, dan transformasi digital yang…

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Fenomena politik populis di Indonesia merupakan salah satu ciri paling menonjol dalam dinamika politik kontemporer, terutama sejak era reformasi yang membuka ruang demokrasi lebih luas bagi mobilisasi massa dan ekspresi…

You Missed

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital

Media Sosial sebagai Arena Pertarungan Politik di Indonesia

Media Sosial sebagai Arena Pertarungan Politik di Indonesia