Bendera One Piece dan Hari Kemerdekaan ke‑80: Apa yang Salah?

Simbol yang Dipertanyakan

Tidak terasa, Indonesia telah genap menuju hari kemerdekaan yang ke‑80. Merah putih menjalar dari gang sempit hingga jembatan layang. Anak-anak berlomba makan kerupuk, ibu-ibu tarik tambang dan para pejabat sibuk berpidato di lapangan. Namun, suasana itu terusik oleh viralnya berbagai aksi sekelompok masyarakat yang mengibarkan bendera bajak laut dari anime One Piece di setiap sudut rumah, jalan, bahkan kendaraan mereka sendiri. Publik pun terbelah. Ada yang tertawa geli, ada yang marah dan sebagian lagi justru mempertanyakan “Apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan nasionalisme kita?”

Tindakan itu, bagi sebagian pihak, dianggap melecehkan simbol negara. Namun, apakah kita cukup adil jika hanya berhenti pada label “tidak sopan”? Tidakkah kita juga perlu menggali makna lebih dalam dari fenomena ini? Mengapa bendera fiksi bisa tampak lebih representatif bagi sebagian masyarakat dibanding Merah Putih yang sakral?

Dalam semesta One Piece, bendera bajak laut bukan sekadar kain bergambar tengkorak. Ia adalah lambang perlawanan terhadap tirani, kebebasan sejati dan solidaritas melawan ketidakadilan. Nilai-nilai itu justru dirasakan lebih hidup dan relevan oleh sebagian masyarakat, dibandingkan narasi nasionalisme formal yang kaku, normatif dan terasa belum menyentuh realitas keseharian mereka.

Ketika Nasionalisme Tak Lagi Punya Emosi

Kita perlu jujur, sebagian masyarakat khususnya anak muda hari ini lebih hafal kru Topi Jerami ketimbang nama pahlawan nasional. Mereka lebih semangat cosplay jadi Luffy daripada mengikuti upacara HUT RI. Mengapa? Jawabannya bukan karena mereka “tidak nasionalis”, melainkan karena mereka kehilangan koneksi emosional dengan simbol-simbol negara.

Sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Malang, Abdus Salam, menyebut bahwa nasionalisme hari ini kehilangan dimensi substansialnya. “Anak muda tidak akan bangga pada bendera Merah Putih sebagai lambang negara jika tidak sejalan dengan kesejahteraan masyarakat,” katanya. Dalam konteks ini, pengibaran bendera One Piece adalah bentuk ekspresi protes terhadap ketimpangan, bukan penghinaan terhadap negara.

Kharik Anhar, seorang mahasiswa yang turut mengibarkan bendera tersebut, menyampaikan bahwa aksinya adalah bagian dari kebebasan berekspresi. “Kami hanya ingin menunjukkan bahwa ada yang tidak beres. Merdeka itu bukan seremoni, tapi perasaan didengar dan dilibatkan,” ujarnya dalam wawancara yang dimuat di media lokal.

Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menanggapi isu ini dengan menyatakan bahwa selama bendera fiksi itu tidak dikibarkan di atas bendera negara, tidak ada masalah hukum yang signifikan. Bahkan Presiden Prabowo disebut tidak mempermasalahkan fenomena ini secara berlebihan. Namun, pernyataan Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, yang menyebut pengibaran itu berpotensi “memisahkan bangsa” justru menunjukkan betapa elite masih gagal menangkap bahasa simbolik generasi muda.

Momen Refleksi, Bukan Sekadar Reaksi

Fenomena pengibaran bendera One Piece seharusnya tidak dilihat sebagai insiden sepele atau ancaman, melainkan sebagai peringatan bahwa ada jurang antara negara dan masyarakat. Bendera One Piece menjadi simbol alternatif karena mereka merasa tidak cukup ruang untuk menyuarakan keresahan mereka melalui jalur formal. Ini bukan soal kain dan warna. Ini soal siapa yang merasa memiliki ruang dalam narasi kebangsaan.

Jika kemerdekaan ke‑80 hanya dipenuhi dengan baris-berbaris dan lomba tradisional tanpa ruang refleksi, maka kita sedang mencetak generasi yang hapal simbol tapi asing pada makna. Nasionalisme harus terus dimaknai ulang, bukan dimuseumkan dalam seremoni yang usang.

Barangkali kita perlu mencontoh Gus Dur yang dengan tenang menanggapi pengibaran bendera Bintang Kejora dengan menyebutnya “umbul-umbul.” Bagi Gus Dur, lebih penting memahami maksud di balik tindakan, daripada langsung menghukum bentuk luar. Begitulah seharusnya negara bersikap terhadap simbol-simbol kultural baru yang muncul dari masyarakat.

Pun demikian terhadap Bendera Merah Putih, ia tidak sedang bersaing dengan bendera bajak laut. Ia hanya sedang menunggu untuk dirasakan kembali maknanya. Dan barangkali, di balik pengibaran bendera fiksi itu, ada pesan yang lebih patriotik dari yang kita sangka, bahwa masyarakat ini tidak mau jadi penonton di negerinya sendiri. Mereka ingin ambil bagian, bahkan jika harus memulainya dengan menggambar tengkorak dan topi jerami di selembar kain.

Penulis: Arif Sugitanata

Related Posts

Keadilan Politik Rasulullah dalam Bingkai Demokrasi

Keadilan politik dalam kepemimpinan Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu tonggak terpenting yang membedakan Islam dari tradisi politik otoritarian dan oligarkis pada zamannya. Kehadiran Rasulullah tidak hanya membawa risalah spiritual…

Toleransi sebagai Warisan Peradaban Islam

Toleransi merupakan salah satu warisan agung peradaban Islam yang relevansinya tidak pernah pudar sepanjang sejarah, bahkan semakin terasa urgensinya di tengah pergulatan global dewasa ini. Kehadiran Islam sebagai agama rahmatan…

You Missed

Ketika Imam Husein Menolak Diam

Ketika Imam Husein Menolak Diam

Darah Imam Husein, Hidupnya Keadilan

Darah Imam Husein, Hidupnya Keadilan

Teriakan Kebenaran di Padang Karbala

Teriakan Kebenaran di Padang Karbala

Keadilan Politik Rasulullah dalam Bingkai Demokrasi

Keadilan Politik Rasulullah dalam Bingkai Demokrasi

Toleransi sebagai Warisan Peradaban Islam

Toleransi sebagai Warisan Peradaban Islam

Transformasi Sosial Nabi Muhammad

Transformasi Sosial Nabi Muhammad