Pertanyaan tentang apakah hukum di Indonesia hanya “tajam ke bawah” adalah kritik sosial yang sudah lama bergaung dalam masyarakat. Ungkapan ini menggambarkan persepsi bahwa hukum cenderung keras terhadap rakyat kecil, tetapi tumpul atau lemah ketika berhadapan dengan kelompok elit, pemegang kekuasaan, atau orang-orang yang memiliki akses pada sumber daya politik dan ekonomi.
Kritik ini bukan tanpa alasan, karena banyak kasus hukum di Indonesia yang menunjukkan ketimpangan perlakuan, baik dari sisi penegakan maupun hasil putusan. Namun, untuk memahami apakah hukum benar-benar hanya tajam ke bawah, perlu dianalisis dari berbagai sudut: struktur hukum, budaya hukum, hingga praktik penegakan hukum dalam realitas politik-ekonomi Indonesia.
Dari segi struktur, Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang cukup lengkap. Konstitusi UUD 1945, berbagai undang-undang, hingga peraturan teknis sebenarnya menegaskan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Bahkan, sistem peradilan Indonesia mengakui independensi hakim, profesionalisme aparat penegak hukum, dan adanya lembaga pengawas.
Secara normatif, hukum Indonesia tidak membedakan status sosial-ekonomi warga. Akan tetapi, masalah muncul ketika norma hukum itu dipraktikkan dalam realitas sosial. Dalam praktik, sering kali terjadi bias perlakuan. Rakyat kecil yang mencuri karena lapar bisa dihukum berat, sementara kasus korupsi bernilai miliaran rupiah bisa berakhir dengan vonis ringan atau bahkan pembebasan.
Contoh yang sering jadi sorotan publik adalah kasus nenek Minah yang pernah dihukum karena mencuri tiga buah kakao, atau kasus pencuri sandal jepit yang diproses hukum dengan serius. Sebaliknya, pejabat atau orang kaya yang terjerat korupsi kadang mendapat perlakuan istimewa, mulai dari penundaan penahanan, fasilitas mewah di lapas, hingga vonis yang dianggap ringan. Ketimpangan ini menimbulkan persepsi kuat bahwa hukum memang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Ketimpangan ini erat kaitannya dengan relasi kekuasaan. Penegakan hukum di Indonesia tidak steril dari pengaruh politik dan ekonomi. Aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun kehakiman, kerap menghadapi tekanan atau intervensi dari pihak yang memiliki kepentingan.
Kasus-kasus besar yang melibatkan elite politik atau konglomerat sering berlarut-larut, tidak tuntas, atau bahkan hilang dari pemberitaan. Di sisi lain, kasus kecil yang melibatkan masyarakat biasa sering ditangani dengan cepat, seolah menjadi bukti ketegasan hukum. Hal ini mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan yang memengaruhi wajah penegakan hukum. Selain itu, faktor ekonomi juga berperan penting.
Masyarakat miskin sering kali tidak memiliki akses terhadap bantuan hukum yang memadai, sehingga rentan diperlakukan tidak adil. Mereka tidak mampu menyewa pengacara yang berpengalaman atau menggunakan celah hukum untuk meringankan hukuman.
Sementara itu, pihak yang berduit bisa memanfaatkan jasa penasihat hukum terbaik, melobi aparat, atau bahkan menyuap untuk meringankan proses hukum. Celah inilah yang membuat hukum seolah diskriminatif terhadap kelas sosial tertentu. Namun, penting juga dicatat bahwa tidak semua kasus besar di Indonesia berakhir dengan impunitas.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meski kini mengalami pelemahan, pernah menunjukkan bahwa hukum bisa tajam ke atas dengan menjerat menteri, gubernur, hingga ketua DPR. Beberapa pejabat tinggi negara dijatuhi hukuman berat, bahkan sampai puluhan tahun penjara. Hal ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia tidak sepenuhnya tumpul ke atas, tetapi konsistensi dan keberaniannya masih sering dipertanyakan.
Dari perspektif budaya hukum, masyarakat Indonesia juga turut memengaruhi tajam-tumpulnya hukum. Ada budaya patron-klien yang kuat, di mana kedekatan dengan pejabat atau aparat dianggap bisa melindungi seseorang dari jerat hukum. Ada pula sikap permisif masyarakat terhadap praktik suap atau nepotisme yang justru melanggengkan ketidakadilan hukum.
Di sisi lain, masyarakat cenderung tidak percaya pada lembaga hukum sehingga lebih memilih menyelesaikan masalah di luar jalur formal, yang pada akhirnya melemahkan legitimasi hukum itu sendiri. Lalu, apakah benar hukum hanya tajam ke bawah? Jawabannya: hukum di Indonesia memang cenderung lebih keras terhadap rakyat kecil dan lebih lunak terhadap elite, tetapi itu bukan semata-mata karena teks hukum, melainkan karena praktik penegakan hukum yang dipengaruhi oleh ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik.
Hukum seharusnya netral, tetapi manusia yang menegakkannya tidak selalu bebas dari bias kepentingan. Masa depan hukum Indonesia akan ditentukan oleh seberapa besar reformasi dapat dilakukan untuk mengatasi ketimpangan ini. Penguatan lembaga independen, transparansi proses hukum, peningkatan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin, serta penanaman budaya hukum yang egaliter menjadi langkah krusial. Lebih dari itu, kesadaran publik untuk mengawasi penegakan hukum juga penting agar aparat tidak bisa lagi bertindak sewenang-wenang.
Jika Indonesia serius membangun sistem hukum yang bersih, independen, dan berorientasi pada keadilan substantif, maka hukum bisa benar-benar tajam secara merata, baik ke bawah maupun ke atas. Persoalannya, apakah ada keberanian politik dan komitmen kolektif untuk mewujudkan hal tersebut?






