Sekolah sering kali dipahami sebagai institusi yang netral, berfungsi mendidik peserta didik agar memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk menjadi warga negara yang baik. Namun, dalam perspektif kritis, sekolah tidak sekadar ruang transmisi ilmu pengetahuan, melainkan juga sebuah alat hegemoni budaya.
Konsep hegemoni yang diperkenalkan Antonio Gramsci menekankan bagaimana kelompok dominan mempertahankan kekuasaannya bukan hanya melalui kekuatan koersif, tetapi juga melalui penguasaan ideologi, nilai, dan budaya yang disebarkan hingga dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan alami.
Sekolah, dengan kurikulumnya yang dirancang secara formal dan pengelolaannya yang diatur negara, berperan penting dalam menginternalisasi nilai-nilai dominan kepada generasi muda, sehingga mereka menerima tatanan sosial yang ada sebagai sesuatu yang lumrah tanpa banyak mempertanyakannya.
Di satu sisi, sekolah menjadi arena reproduksi budaya dominan dengan cara membakukan standar bahasa, menyeleksi pengetahuan tertentu yang dianggap sahih, serta mendefinisikan perilaku yang disebut disiplin atau patuh.
Melalui mekanisme ini, sekolah membentuk habitus peserta didik agar selaras dengan kepentingan kelompok penguasa atau elit sosial. Hal ini terlihat dalam pemilihan kurikulum yang menekankan narasi sejarah dari sudut pandang negara, pemilahan antara bahasa resmi dan bahasa lokal, serta penekanan pada nilai-nilai yang mendukung kepatuhan terhadap otoritas.
Namun, di sisi lain, sekolah juga merupakan medan perlawanan dan negosiasi. Peserta didik, guru, bahkan komunitas sekitar dapat menggunakan ruang sekolah untuk mengartikulasikan identitas alternatif, melestarikan budaya lokal, atau mengkritisi ideologi dominan.
Proses hegemoni tidak pernah tuntas, karena selalu ada celah bagi terjadinya resistensi. Misalnya, ketika sekolah mulai membuka ruang bagi kurikulum muatan lokal, pengakuan terhadap budaya daerah, atau penerapan pedagogi kritis yang mendorong siswa untuk mempertanyakan struktur sosial. Di titik ini, sekolah dapat menjadi arena dialektis antara reproduksi hegemoni dan produksi budaya tandingan.
Melihat sekolah sebagai alat hegemoni budaya berarti memahami perannya yang ganda bahwa ia adalah instrumen yang menanamkan nilai dan ideologi dominan, sekaligus ruang yang memungkinkan resistensi dan transformasi. Perspektif ini menuntut kesadaran kritis dari para pendidik agar tidak sekadar menjadi agen reproduksi sistem yang ada, tetapi juga mampu membuka ruang refleksi dan pemberdayaan.
Pada akhirnya, tantangan terbesar adalah bagaimana mengarahkan sekolah agar tidak hanya menjadi instrumen kekuasaan, melainkan juga medium emansipasi yang memungkinkan peserta didik tumbuh sebagai subjek kritis yang berdaya menghadapi realitas sosial-budaya yang kompleks.
Penulis: Suud Sarim Karimullah







