
Kehadiran Al-Qur’an di tengah kehidupan manusia menjadi sebuah solusi dari berbagai problematika hidup yang dialami oleh manusia dan sebagai sumber inspirasi sampai akhir zaman. Dengan demikian, menjadikan Al-Qur’an sebagai basis dasar dalam pendidikan moderasi di Indonesia menjadi suatu keharusan yang harus dilakukan. Pendidikan yang dimaksudkan adalah sebagai sebuah usaha yang sungguh-sungguh dalam membimbing, mengarahkan dan membentuk karakter para pelajar termasuk juga santri untuk mencintai perdamaian dan menghormati perbedaan
Terdapat banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan untuk mewujudkan perdamaian, saling menghormati dan menjauhi segala bentuk perbuatan kekerasan. Jika ada seorang muslim yang melakukan kekerasan, kerusuhan dan segala tindakan yang dapat merugikan orang lain, maka perbuatan yang demikian sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Qur’an. Seorang muslim adalah umat moderat (wasathiyah) yang berdiri di garis tengah dengan menempatkan segala sesuatu sesuai dengan porsinya dan tidak ifrath (ekstrim kiri) maupun tafrith (ekstrim kanan).
Pemahaman yang salah terhadap Islam yang bermuara pada pemikiran, keyakinan, tradisi dan gerakan harus bisa diluruskan dengan melalui pendekatan Islam moderat yang ramah sebab pada fenomena yang demikian sudah bukan menjadi sesuatu yang baru karena telah ada dalam lintasan sejarah kehidupan umat muslim. Umat muslim memiliki kewajiban untuk membangun kembali citra Islam yang sering dituduh menyebarkan ajaran yang mengarah kepada tindak kekerasan dan terorisme serta anti kemanusiaan.
Santri yang merupakan umat muslim dan bagian dari warga pesantren seharusnya dapat mengamalkan ilmunya yang telah di dapat dari pesantren sehingga membuktikan bahwa ajaran dalam pendidikan pesantren tentang moderasi Islam bisa menghadirkan identitasnya sebagai polos tengah yang berpusat kepada gerakan Islam yang moderat. Pada perbuatan tersebut dilakukan dengan tujuan mengembalikan citra Islam sebagai agama yang moderat, berkemanusian dan mendatangkan rahmat bagi seluruh alam.
Berbagai ajaran pesantren yang telah dikonsumsi oleh para santri menjadikan sebuah nilai yang tidak dapat dipisahkan sebab telah mengakar dengan kehidupan para santri. Berbagai nilai tersebut bisa dijadikan sebuah senjata oleh para santri dalam merespon berbagai problematika sosial yang sedang terjadi, seperti fenomena radikalisme dan kekerasan yang dituduhkan kepada umat muslim. Masih banyaknya aksi kekerasan dan terorisme yang ada di Indonesia membuktikan bahwa masih minimnya penghayatan terhadap nilai-nilai moderasi dengan berbasis Al-Qur’an.
Nilai-Nilai Moderasi Berbasis Al-Quran
Para ulama sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber utama dan pertama dalam Islam yang kebenarannya sudah teruji secara ilmiah dari masa ke masa dengan penjelasan yang sangat lengkap, detail dan akurat, yang pada esensinya ke arah pemikiran moderasi (wasathiyah). Al-Quran menjelaskan terminologi moderasi sesuai dengan penafsiran yang akurat dari para ulama yang ahli dalam bidang tafsir.
Terdapat beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan mengenai sikap untuk moderat dalam menyampaikan ajaran Islam, yaitu QS. Al-Baqarah [2] ayat 143, QS. Al-Nahl [16] ayat 125, dan QS. Al-Qasas [28] ayat 77. Namun penjelasan mengenai ayat-ayat Al-Qur’an tersebut masih belum maksimal dipahami dan dipraktikkan dengan baik di beberapa kalangan para santri sehingga hal yang demikian menyebabkan pada penyimpangan atas pemahaman keagamaan. Padahal konsep moderasi selalu diajarkan dan ditanamkan kepada para santri dalam pendidikan pesantren sebab merupakan perintah dalam Al-Qur’an, yaitu QS. Al-Maidah [5] ayat 77, QS. Al-Hud [11] ayat 77, QS. Al-Mumtahanah [60] ayat 6 dan berbagai ayat yang lainnya.
Faktor yang menjadi penyebab penyimpangan pemahaman atas konsep moderasi (wasathiyah)adalah sempitnya pemahaman dan wawasan keilmuan atas pendidikan agama yang didapatkan oleh para generasi muda yang merupakan penerus risalah kenabian. Faktor internal pendidikan Islam yang tidak berfungsi secara baik dan maksimal menjadi penyebab terjadinya pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama Islam itu sendiri. Pada kesalahan dalam menafsirkan Islam akan menyebabkan kerugian dalam diri Islam dan mencoreng Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Sikap intorelansi dan kekerasan yang dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan bagian dari umat muslim menyebabkan agama Islam juga tidak bisa diterima oleh sebagian masyarakat sebab tidak menjunjung tinggi rasa kemanusiaan. Pada perbuatan yang demikian, biasanya disebabkan oleh kesalahpahaman terhadap penafsiran atas Islam yang dilakukan melalui kajian literalistik dalam memahami berbagai teks nash (Al-Qur’an dan Sunnah) yang dikuatkan dengan kepercayaan diri bahwa pemahamannya atas berbagai teks nash tersebut adalah yang paling benar.
Selain itu, pengaruh ajaran Wahabisme di kalangan masyarakat juga sangat mengganggu terhadap eksistensi Islam sebagai agama yang moderat (tawassuth), berkeadilan (ta’adul), dan seimbang (tawazun) serta menghargai terhadap perbedaan. Ajaran Wahabisme bisa merusak tatanan kehidupan sosial keagamaan di tengah-tengah masyarakat sebab memberantas terhadap tradisi keagamaan dan kepercayaan yang sudah dilakukan secara turun menurun dengan berpandangan bahwa tradisi tersebut merupakan perbuatan yang bid’ah dan bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Pada fenomena yang demikian menjadi salah satu tugas bagi santri untuk tetap selalu mensosialisasikan pengetahuan keislaman yang moderat dan menjalin kerukunan agar tidak terjadi konflik dalam sosial keagamaan. Seorang santri yang mempunyai wawasan keilmuan yang baik dan luas, maka akan lebih berpotensi bisa membedakan terhadap berbagai informasi keagamaan yang harus diterima. Informasi yang layak dibagikan untuk publik dan informasi yang hanya cukup dikonsumsi secara individu. Para santri harus bisa berperan dalam menampilkan karakteristik Islam yang tawassuth (moderat), infitah (inklusif), tawazun (seimbang) dan musawah (persamaan).
Pada prinsip-prinsip moderasi yang ada dalam Islam mencangkup at-Tawasuth (moderat atau jalan tengah), at-Tawazun (seimbangan), al-I’tidal (menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan) dan at-Tasamuh (menghargai keberagaman dan perbedaan). Pada empat prinsip moderasi tersebut harus bisa dipahami dan dipedomi oleh para santri sehingga menjadi sebuah landasan untuk berpijak dalam menjalani kehidupan ditengah-tengah masyarakat yang multikultural. Selain itu juga, dengan menjadikan keempat prinsip moderasi sebagai dasar dalam menjalani kehidupan sosial keagamaan, maka akan terhindar dari perbuatan fundamentalisme, fanatisme, radikalisme dan ekstrimisme yang mengarah pada perbuatan terorisme.
Pada moderasi beragama merupakan sebuah kepercayaan diri atas substansi dari esensi ajaran agama yang dipercayai dengan tetap berbagi kebenaran sejauh terkait dengan perbedaan tafsir terhadap agama tersebut. Dalam moderasi beragama menunjukkan sebuah penerimaan, keterbukaan dan saling bersinergi dari berbagai kelompok keagamaan yang berbeda. Melalui internalisasi nilai-nilai moderasi berbasis Al-Qur’an diharapkan bisa memberikan sebuah respon atas berbagai problematika kebangsaan yang ada di Indonesia, mulai dari persoalan Islam dan kebangsaan, khilafah dan negara pancasila, perbedaan keyakinan diantara umat beragama dan yang lainnya.
Implementasi Nilai-Nilai Moderasi di Kalangan Santri
Seorang santri adalah para generasi pilihan yang berwawasan moderat. Konsep moderasi beragama yang telah dipelajari di pesantren harus dipegang teguh oleh para santri dengan baik. Konsep moderasi beragama menjadi suatu yang urgen sebab sikap tersebut akan mendorong ke arah praktik beragama yang seimbang diantara eksklusif (pengamalan agama sendiri) dan inklusif (penghormatan kepada praktik keagamaan orang lain yang berkeyakinan berbeda).
Pada keseimbangan sikap dalam melihat berbagai perbedaan praktik keberagamaan, maka akan menghindari seseorang dari sikap fanatisme yang berlebihan. Kemampuan untuk berpikir secara objektif dan komprehensif terhadap berbagai teks keagamaan sangat dibutuhkan untuk sampai pada sikap yang moderat dan jauh dari sikap ekstrim dan radikal yang mengarah kepada perbuatan terorisme.
Pada implementasi nilai-nilai moderasi di kalangan para santri bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: pertama, membaca kembali tentang Islam secara kompleks dengan tujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang Islam sebagai realitas ketuhanan dan kemanusiaan yang mempunyai sifat empiris-historis sehingga Islam tidak dipahami secara monolitik. Kedua, melihat kembali secara historis Islam yang ada di Indonesia dari awal perkembangannya dengan tujuan bisa membaca peran para walisongo dalam menyebarkan syariat Islam secara moderat di tengah-tengah bangsa yang multikultural. Ketiga, membaca berbagai metodologi penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan oleh ulama-ulama nusantara dengan tujuan untuk menambah wawasan keilmuan tentang pemikiran moderat para ulama tafsir dari nusantara.
Kemudian, pemanfaatan media dengan baik juga dapat dilakukan oleh para santri untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang moderat dan toleran sehingga menjadi konter dari media-media yang digunakan oleh para kelompok radikal dalam menyebarkan ajarannya kepada publik. Para kelompok radikalis memang pintar dalam memanfaatkan media untuk kepentingan propaganda sehingga media menjadi alat untuk menyebarkan ajaran-ajaran yang mengarah kepada terorisme.
Para santri sebagai agen risalah kenabian harus bisa aktif dan lebih progresif lagi dalam mengkampanyekan nilai-nilai moderasi berbasis Al-Qur’an melalui sosial media. Santri yang diam dan tidak bertindak bahkan tidak peduli untuk menyuarakan nilai-nilai moderasi berbasis Al-Qur’an di sosial media, maka akan membuat para kelompok radikal lebih leluasa menguasai media dan menyebarkan ideologi keagamaan. Mambangun keharonisan dan kerukunan diantara kelompok-kelompok yang berbeda dengan selalu menebarkan perdamaian di muka bumi melalui dialog intra-religious dan inter-faith.
Keberagaman di kalangan para santri sebagai sebuah representasi Islam moderat yang ada di Indonesia. Para santri yang merupakan bagian dari kalangan muslim tradisional bisa menghantarkan menjadi kelompok yang moderat, toleran dan terbuka sebab memiliki keilmuan agama yang bersanad dengan wawasan yang luas. Dengan adanya keilmuan agama yang bersanad dan wawasan keilmuan yang luas menjadikan para santri dapat menerima perbedaan pandangan dan tidak saling menyalahkan, apalagi sampai mengkafirkan kelompok yang berbeda pandangan dengannya, sehingga yang demikian merupakan bagian dari moderasi beragama yang jauh dari sifat ekstrimisme.
Para santri biasanya memandang sebuah perbedaan pandangan sebagai sebuah anugerah dan rahmat dari Allah Swt. Pada model keberagaman santri dengan secara tersebut, dapat dikatakan sebagai agen risalah kenabian yang bisa mempersatukan keberagaman dalam kehidupan keragaman dan berbangsa serta bernegara. Hal yang demikian berbeda dengan cara beragama di kalangan umat muslim yang fundamentalis, radikalis dan ekstrimis yang lebih memperdepankan klaim kebenaran (truth claim). Kiprah para santri membawa dampak yang positif dalam penyebaran ajaran Islam yang moderat di kalangan sosial kehidupan masyarakat.
Pribumisasi nilai-nilai moderasi berbasis Al-Qur’an dikembangkan dengan melalui empat aspek yang tergolong pada konsep wasathiyah (moderasi), seperti menegakkan keadilan, bersikap terbuka sehingga menjadi toleran terhadap berbagai macam perbedaan, memiliki wawasan keilmuan yang luas dalam rangka mewujudkan generasi ulul albab yang tetap berwawasan keilmuan pesantren dan peduli terhadap pemberdayaan masyarakat dengan tetap berpegang teguh pada akhlakul karimah.
Pada konsep pribumisasi berbagai nilai moderasi berbasis Al-Qur’an di kalangan santri merupakan sebuah usaha untuk menciptakan terjadinya sebuah proses pengambilan nilai moderasi dalam Al-Qur’an oleh santri untuk diwujudkan dalam bentuk tingkah laku pada ranah kehidupan sosial kemasyarakatan. Pada hal yang demikian perlu untuk dibumikan di kalangan para santri di tengah derasnya pengaruh paham liberalisme dan berbagai tindakan ekstrim yang mengatasnamakan agama Islam.
Melalui pribumisasi nilai-nilai moderasi berbasis Al-Qur’an, diharapkan dapat menbangun generasi santri yang mempunyai sifat toleran antar umat beragama, sehingga bisa menerima segala bentuk perbedaan yang pada esensinya merupakan sebuah anugerah dari Tuhan yang Maha Esa. Selanjutnya dibutuhkan sebuah kajian lanjutkan yang lebih mengeksplorasikan berbagai nilai moderasi dalam beragama di era digital yang penuh dengan ketidakpastian (uncertainty), tipu daya dan fitnah.
Penulis: Suud Sarim Karimullah