
Malam itu, angin berhembus pelan, seolah membawa ketenangan sekaligus kegelisahan dalam dada. Ada hal besar yang menanti di depan, sebuah langkah yang tak sekadar membawa diri, tapi juga membawa hati orang lain. Mendapatkan restu dari orang tua calon istri itulah maksudnya, suatu yang bukanlah perkara sederhana. Ini tentang bagaimana membawa diri, memperlihatkan siapa kita di balik senyum, gestur dan kata-kata. Di sini, agama, budaya dan komunikasi yang tulus menjadi kunci yang harus dirangkai dengan hati-hati.
Langkah pertama yang harus diambil, seperti seorang pengembara yang memastikan arah kompasnya, adalah memastikan niat. Dalam Islam, niat menjadi landasan awal setiap langkah. Termaktub juga dalam suatu hadis yang berbunyi “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
Tanpa niat yang tulus dan ikhlas, semua akan terasa hampa. Menyampaikan niat yang sungguh-sungguh untuk menikahi seseorang bukan hanya di hadapan si calon istri, tapi juga di hadapan keluarganya. Di situ, ada sopan santun, ada kesederhanaan dan ada juga kejujuran. Semua terjalin menjadi satu benang merah yang menunjukkan bahwa kita siap untuk menjalani kehidupan bersama dengan segala tanggung jawab yang datang bersamanya.
Namun, tak hanya niat yang perlu dipahami, ada pula budaya yang harus direngkuh. Keluarga calon istri bukan hanya sekumpulan individu, mereka adalah penjaga tradisi, nilai dan kebiasaan yang sudah mendarah daging. Menaklukkan hati mereka bukan soal menundukkan ego, tapi soal belajar memahami mereka, menghargai adat yang mereka junjung tinggi. Seperti ketika pertama kali berkunjung, melihat senyum ayah dan tatapan ibu, kita harus siap untuk mengikuti alur mereka, menghargai apa yang mereka yakini tanpa harus mengorbankan diri. Mungkin itu berarti ikut terlibat dalam acara keluarga atau sekadar berbicara dengan nada yang penuh hormat dan rasa empati.
Kemudian, ada komunikasi. Ah, komunikasi! Ini adalah jembatan yang menghubungkan dua dunia yang berbeda. Kunci di sini bukan hanya soal berbicara, tapi lebih dari itu, soal mendengarkan. Orang tua calon istri, seperti juga setiap orang tua lainnya, memiliki harapan dan kekhawatiran. Mereka ingin tahu, seperti apa kehidupan yang kamu bayangkan bersama anak mereka? Bagaimana masa depan yang kalian rencanakan? Mendengarkan dengan sabar, menjawab dengan jelas dan memberikan kepastian bahwa masa depan putri mereka aman di tanganmu, itulah yang mereka harapkan.
Tak kalah penting, sikap dewasa yang konsisten. Orang tua ingin melihat bahwa calon menantu mereka adalah sosok yang bertanggung jawab, yang bisa diandalkan dalam situasi apa pun. Ini bukan tentang memamerkan pencapaian, tapi tentang menunjukkan bahwa kita siap secara emosional dan finansial untuk memulai babak baru dalam hidup. Mereka perlu diyakinkan bahwa kamu adalah pilihan yang tepat, seseorang yang bisa merangkul tanggung jawab tanpa ragu.
Dan tentu saja, hadirnya sosokmu secara fisik, kehadiran nyata, adalah hal yang tak bisa diremehkan. Ada bahasa tubuh yang tak bisa ditangkap lewat kata-kata di layar smartphone. Sebuah kunjungan, tatapan langsung dan senyum tulus saat berbicara dengan ayah dan ibu calon istri, semua itu memiliki kekuatan yang lebih besar daripada yang bisa kita bayangkan. Bahasa tubuh yang sopan, cara duduk yang penuh hormat dan mendengarkan dengan penuh perhatian adalah hal-hal sederhana yang bisa melunakkan hati yang keras sekalipun.
Di balik itu semua, jangan pernah lupa untuk menunjukkan kepedulian. Terkadang, hal-hal kecil seperti menanyakan kabar atau menawarkan bantuan dalam hal-hal sepele, bisa menjadi jalan menuju hati mereka. Ini bukan soal menarik perhatian, tapi soal menunjukkan bahwa kamu tak hanya peduli pada si calon istri, tapi juga pada keluarganya. Ketulusan ini bisa menjadi pondasi yang kuat untuk membangun hubungan yang lebih dalam.
Dan di zaman sekarang, tak bisa dipungkiri, orang tua pun mulai mempertimbangkan kesetaraan gender. Mereka ingin menantu yang tidak hanya bisa menjadi penyokong finansial, tapi juga mampu menjadi partner sejati bagi putri mereka. Jika kamu bisa menunjukkan bahwa kamu siap berbagi tanggung jawab, mendukung karier atau pendidikan istrimu, itu akan menjadi nilai tambah di mata mereka. Ini bukan hanya soal materi, tapi juga soal bagaimana kamu melihat pernikahan sebagai kerja tim, di mana kesetaraan dan dukungan adalah kuncinya.
Akhirnya, tetaplah bersabar. Tak semua orang tua mudah diyakinkan. Mungkin mereka butuh waktu untuk merasa nyaman dan yakin bahwa kamu adalah pilihan terbaik bagi anak mereka. Tapi dengan konsistensi, kesabaran dan terus menunjukkan niat baik, perlahan tapi pasti, hati mereka akan terbuka. Pada akhirnya, yang mereka inginkan adalah kebahagiaan putri mereka. Jika mereka bisa melihat itu dalam dirimu, restu bukan lagi sesuatu yang mustahil untuk didapatkan. Dan ketika saat itu tiba, kamu akan merasa bahwa segala usaha yang kamu lakukan, segala langkah yang kamu ambil, semuanya sepadan.
Penulis: Arif Sugitanata