Apakah Sistem Presidensial Masih Relevan untuk Indonesia?

Pertanyaan tentang relevansi sistem presidensial bagi Indonesia merupakan isu politik yang fundamental, karena menyangkut bagaimana struktur kekuasaan negara dikelola dalam rangka menjaga stabilitas politik, memperkuat demokrasi, dan memastikan kesejahteraan rakyat.

Indonesia sejak era reformasi memilih sistem presidensial murni, dengan ciri utama presiden dipilih langsung oleh rakyat, masa jabatan tetap, serta pemisahan yang tegas antara eksekutif dan legislatif. Namun, perjalanan demokrasi dua dekade terakhir menunjukkan bahwa sistem ini memiliki kelebihan sekaligus kelemahan yang perlu dievaluasi ulang agar sesuai dengan konteks politik, sosial, dan budaya Indonesia.

Salah satu argumen yang mendukung relevansi sistem presidensial adalah kepastian stabilitas pemerintahan. Tidak seperti sistem parlementer yang rawan pergantian kabinet akibat krisis politik, sistem presidensial menjamin presiden tetap memegang jabatan hingga akhir masa periode, kecuali terjadi pelanggaran berat yang dapat memicu pemakzulan. Hal ini penting bagi Indonesia yang memiliki sejarah panjang ketidakstabilan politik, mulai dari era demokrasi liberal 1950-an hingga jatuhnya Orde Lama.

Selain stabilitas, sistem presidensial juga memperkuat legitimasi kepemimpinan. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, sehingga memiliki mandat yang kuat sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam konteks Indonesia yang sangat plural dengan keragaman etnis, agama, dan budaya, legitimasi langsung dari rakyat menjadi penting untuk menjaga rasa keterwakilan.

Pemilihan presiden secara langsung juga menumbuhkan akuntabilitas politik, karena presiden harus mempertanggungjawabkan kinerjanya di hadapan publik, bukan hanya pada elit partai. Namun, di sisi lain, sistem presidensial di Indonesia tidak terlepas dari kelemahan.

Pertama, adanya potensi kebuntuan politik atau gridlock antara eksekutif dan legislatif. Meski presiden dipilih langsung oleh rakyat, ia tetap harus bekerja sama dengan parlemen yang sering kali terfragmentasi oleh banyaknya partai politik. Koalisi gemuk yang dibangun untuk mengamankan dukungan parlemen justru sering melahirkan politik kompromi, pembagian kursi kekuasaan, serta melemahkan fungsi oposisi. Akibatnya, sistem presidensial yang semestinya tegas dan efisien justru berubah menjadi sistem presidensial-oligarkis yang penuh transaksi politik.

Kedua, biaya politik dalam sistem presidensial Indonesia sangat tinggi. Pemilihan presiden langsung membutuhkan sumber daya besar, baik dari kandidat maupun partai pendukung. Dalam praktiknya, hal ini membuka peluang bagi masuknya oligarki ekonomi ke dalam politik, karena kandidat presiden bergantung pada dukungan finansial dari kelompok-kelompok tertentu. Konsekuensinya, kebijakan negara kerap berpihak pada kepentingan modal daripada kepentingan rakyat banyak. Situasi ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah sistem presidensial benar-benar memperkuat kedaulatan rakyat, atau justru memperkuat dominasi elite ekonomi dalam politik?

Ketiga, sistem presidensial Indonesia sering memunculkan personalisasi kekuasaan. Karena presiden dipilih langsung dengan mandat besar, figur presiden cenderung mendominasi politik nasional. Dalam budaya politik yang masih paternalistik, hal ini berisiko mengkultuskan individu dan melemahkan institusi. Demokrasi menjadi bergantung pada figur tertentu, bukan pada sistem yang sehat. Fenomena ini terlihat dalam meningkatnya politik identitas dan fanatisme kandidat dalam setiap pemilihan presiden, yang sering kali justru memperdalam polarisasi masyarakat.

Di tengah kelebihan dan kelemahan tersebut, pertanyaan tentang relevansi sistem presidensial untuk Indonesia sejatinya bukan soal mempertahankan atau mengganti sistem, melainkan bagaimana mengadaptasi dan memperbaikinya. Sistem presidensial tetap relevan, asalkan diimbangi dengan reformasi kelembagaan politik.

Pertama, sistem kepartaian perlu diperkuat agar lebih sederhana dan stabil. Fragmentasi partai harus dikurangi melalui ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang lebih tegas, sehingga tercipta parlemen yang efektif dan tidak terlalu terfragmentasi.

Kedua, mekanisme checks and balances antara presiden, parlemen, dan lembaga yudikatif harus diperkuat. DPR harus menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar menjadi bagian dari koalisi kekuasaan. Demikian pula, lembaga yudisial harus independen dalam mengawasi praktik penyalahgunaan kekuasaan. Dengan mekanisme pengawasan yang kuat, sistem presidensial dapat berjalan tanpa terjebak dalam otoritarianisme terselubung.

Ketiga, sistem rekrutmen politik harus diperbaiki agar menghasilkan pemimpin berkualitas. Partai politik sebagai pintu utama pencalonan presiden perlu lebih transparan, demokratis, dan akuntabel dalam menentukan kandidat. Tanpa perbaikan rekrutmen politik, sistem presidensial hanya akan melahirkan pemimpin yang berorientasi pada popularitas, bukan kompetensi.

Keempat, pendidikan politik masyarakat perlu ditingkatkan agar pemilihan presiden tidak sekadar menjadi ajang pertarungan figur atau identitas, melainkan ajang perdebatan gagasan dan program. Jika masyarakat lebih kritis dalam memilih, maka kualitas demokrasi dalam sistem presidensial juga akan meningkat.

Sistem presidensial masih relevan untuk Indonesia, tetapi relevansinya bersifat bersyarat: hanya akan berfungsi optimal jika disertai dengan reformasi politik yang konsisten. Jika tidak, sistem ini berpotensi terjebak dalam kelemahan struktural yang menguntungkan elite tetapi merugikan rakyat. Tantangan terbesar Indonesia adalah bagaimana menjadikan sistem presidensial bukan sekadar wadah formal demokrasi, tetapi juga sarana substantif untuk mewujudkan pemerintahan yang stabil, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan publik.

Related Posts

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa depan pers di tengah tekanan politik merupakan topik yang semakin krusial dalam konteks demokrasi Indonesia yang sedang mengalami dinamika kompleks antara kebebasan berekspresi, kekuatan ekonomi-politik, dan transformasi digital yang…

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Fenomena politik populis di Indonesia merupakan salah satu ciri paling menonjol dalam dinamika politik kontemporer, terutama sejak era reformasi yang membuka ruang demokrasi lebih luas bagi mobilisasi massa dan ekspresi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You Missed

Isu HAM dalam Politik Indonesia

Isu HAM dalam Politik Indonesia

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Perlindungan Hukum untuk Pekerja Migran Indonesia

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Masa Depan Pers di Tengah Tekanan Politik

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Fenomena Politik Populis di Indonesia

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Peran Diaspora Indonesia dalam Politik Global

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital

Fenomena Polarisasi Politik di Era Digital